Mohon tunggu...
Retty Hakim
Retty Hakim Mohon Tunggu... Relawan - Senang belajar dan berbagi

Mulai menulis untuk portal jurnalisme warga sejak tahun 2007, bentuk partisipasi sebagai warga global.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Antara

10 Juni 2017   10:21 Diperbarui: 10 Juni 2017   11:02 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Mundurnya majalah HAI dari edisi cetak memang menyedihkan. Bagi orang-orang yang sudah lama mengenal majalah HAI sebagai bagian dari pendidikan dan pengembangan generasi muda, berita ini sungguh sebuah berita duka cita. Tapi, sebagai bagian dari orang yang beruntung mengalami evolusi media dari media cetak ke media daring, saya berharap ini adalah bagian dari pembelajaran evolusi itu sendiri. Berharap agar idealisme yang menjadi dasar awal pendirian majalah yang berusaha menjangkau remaja Indonesia (sebelum menjadi majalah remaja pria) tidak terkubur dalam hingar bingar konsumerisme dunia.

Keprihatinan saya bukan hanya untuk HAI, tapi untuk semua majalah remaja yang satu demi satu menghilang. Entah kenapa Kawanku memilih mengganti identitasnya menjadi cewebanget.grid.id. Semoga HAI tetap membawa nama besarnya dalam hai.grid.id.

Sebelum ini saya juga menyaksikan bagaimana the Student Globe beralih dari cetak ke daring dan akhirnya kini bahkan tidak bisa diakses lagi. Saya juga menyaksikan berakhirnya The Speak!, majalah untuk remaja dari Jakarta Post (Saat ini saya hanya menemukan akses ini: http://epaper.thejakartapost.com/epaper/viewer.aspx)

Dalam satu dekade terakhir ini saya berkecimpung dalam dunia pendidikan, dan berusaha keras untuk mengajak generasi muda mencintai membaca dan menulis. Bagi generasi milenial yang terbiasa mencari di internet dan terbiasa spontan berkomentar di internet, proses menulis dan menunggu terbit dalam edisi cetak juga menjadi sebuah proses pembelajaran.  

Saya pernah mencoba memperkenalkan majalah Kawanku dan HAI pada murid-murid SMP dan SMA di sekolah tempat saya bekerja (baca di sini dan di sini). Beberapa murid mencoba mengirim sebuah tulisan ke majalah HAI, tetapi entah tersangkut di mana, tidak pernah diterbitkan tapi tidak ada kabar pula. Sementara itu masalah dana memang merupakan kendala untuk kerjasama yang lebih intens. Kurangnya keinginan untuk berlangganan dari anak dan mungkin kurangnya dukungan orangtua menjadi akhir kisah. Semoga dengan konsentrasi dalam "hai" versi daring, bisa dikembangkan metode baru untuk menjangkau generasi milenial ini.

Abi Hasantoso dalam tulisannya di Kompasiana, Siapa yang Bersedih Melihat Edisi Cetak Terakhir Majalah "Hai"?, sempat mengutip perkataan Arswendo Atmowiloto " HAI itu jualannya ide, jualan gagasan. Tanpa ide HAI itu tongkring." Tuntutan generasi milenial saat ini memang memberikan tantangan agar redaksi lebih kreatif lagi dalam menggali ide.

Majalah HAI lahir di tahun 1977 bagi generasi saya, generasi yang miskin hiburan. Mungkin harga majalah HAI zaman saya remaja sama mahalnya dengan harga majalah ini sekarang. Saya ingat waktu itu harus menunggu kiriman majalah bekas dari sepupu saya untuk bisa baca HAI. Waktu itu membaca adalah satu-satunya jendela dunia. Siaran televisi sangat terbatas. Konser musik lokal sangat minim dan seringkali dengan harga yang tidak terjangkau. Di situlah HAI masuk. HAI menghadirkan dunia ke pada kami. Bahkan bisa dibilang HAI juga pelopor jurnalisme warga. Pinky Mirror, fotografer profesional, mengingat bagaimana ia sebagai pelajar SMA boleh mengirimkan tulisan foto-foto sebagai seorang pelajar SMA. "Tulisan pertama saya adalah April Mop Michael Jackson, setelah itu pernah juga menulis mengenai kelompok pencinta alam sekolahku," kenang Pinky. Hadirnya kisah Lupus juga menginspirasi banyak remaja untuk menjadi penulis, dan membuat majalah sekolah mereka.  Di mata saya, ini bagian dari jurnalisme warga yang kemudian berkembang menjadi Pers Abu-abu. "Cuma HAI yang Bisa Begini"

Tanpa dukungan dana memang sulit untuk tepuk dada "Cuma HAI yang Bisa Begini", karena itu butuh dukungan idealisme korporat untuk mempertahankan keberadaan media cetak bagi remaja. Bukan hanya HAI yang butuh dukungan ini. Dukungan idealisme korporat bahwa mereka menginvestasikan dana untuk pendidikan jangka panjang generasi muda penerus bangsa. Pendidikan generasi muda yang tidak hanya dalam segi akademis kemampuan menulis maupun eksplorasi talenta lainnya seperti membuat kartun maupun memotret, tapi lebih dalam lagi pendidikan keberagaman, pendidikan berbangsa dan bertanah-air. Dalam media remaja seperti ini diharapkan sekat-sekat sekolah, sekat-sekat suku, agama, ras, dan antar golongan mencair dan menghasilkan persatuan Indonesia.

Sambil berharap bahwa pamit hadirnya majalah cetak regular HAI tidak akan pernah menjadi salam perpisahan selamanya, saya berdoa agar Redaksi HAI tidak "tongkring" dan banyak pihak tetap mendukung idealisme pendidikan melalui media ini. Semoga edisi cetak yang dijanjikan juga bisa dimunculkan walau tidak reguler, karena sampai sejauh ini dalam pengamatan saya dunia daring tidak menjanjikan keabadian.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun