Mohon tunggu...
Retno Aprilina
Retno Aprilina Mohon Tunggu... -

look within and find your self

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kita (Masih) Tidak Bisa Bedakan Antara Lawan dengan Musuh

16 Oktober 2018   20:31 Diperbarui: 16 Oktober 2018   20:44 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Satu lagi tragedi yang tidak seharusnya terjadi di negeri ini, 'pengeroyokan salah satu supporter sepak bola'. Peristiwa ini terjadi beberapa waktu lalu saat salah satu clup lokal sepak bola saling bertanding. Korban meninggal di tempat setelah dikeroyok oleh supporter tim lawan. Sampai sekarang aku masih tidak habis pikir mengapa mereka tega mengeroyok hingga babak belur tak berdaya dan bahkan berdarah-darah, sungguh miris ketika melihat video yang tersebar di media sosial ketika pengeroyokan terjadi.

Kejadian itu bermula karena diduga korban adalah pendukung Persija Jakarta yang menyusup (mematai) ditengah kerumunan supporter Persib Bandung, mereka menduga seperti itu berdasarkan kartu identitas korban. Lalu kenapa?, apa tidak boleh ?, katakanlah logika tersebut tak mungkin, tak mungkin sesorang mendukung daerah lain ketimbang daerahnya sendiri, oke baiklah. Tapi apakah harus dikeroyok?, kita bukan sedang berperang, kita ini masih satu tanah air, pemainnya bahkan berkawan terlebih ketika jadi satu tim di timnas.

Setelah bermain ya semuanya selesai, ini hanya permainan yang seharusnya menyatukan kita,/ melatih kita untuk bisa bersikap suportif dan bersahabat dengan orang lain di luar lingkungan kita. Mengapa harus dikeroyok? Tak bisakah hanya dengan introgasi dulu, atau misalkan mau mukul karena mungkin gak tahan, kenapa tidak sekali saja (meski itu juga seharusnya tidak dibenarkan), kenapa harus dikeroyok hingga berdarah-darah.

Si korban sudah tergeletak, mengapa masih di pukuli juga, apa salah dia? mengapa manusia bisa jadi sekejam itu, kita ini semua bersaudara, bahkan malingpun tak boleh dihakimi dikeroyok seperti itu, apalagi ini, hanya karena hal yang seperti itu. Di lapangan sepak bola mereka adalah lawan, bukan musuh, karena memang tidak mungkin bermain sendirian. Setelah bermain ya semuanya selesai. Dilapanganpun tetap berkawan meski lawan.

Tak jauh berbeda dengan kejadian tersebut, pertandingan sepak bola yang diadakan di daerahku juga berakhir ricuh. Tepatnya RT ku dengan RT sebelah (secara geografis hanya dipisahkan dengan sungai besar) bertengkar hebat saat pertandingan berlangsung. Sehingga wasit harus menghentikan permainan final sepak bola tersebut karena bahkan antar pemain pun ada yang berselisih. Ironisnya pemain yang bertengkar di tengah lapangan itu masih sedarah, iya benar paman dan keponakan. Apa mereka mau menukar pertandingan bola yang hadiahnya tak seberapa itu dengan kerabat?, entahlah.

Setiap sudut jalan yang aku telusuri orang-orang sibuk bercerita bagaimana panasnya mereka sejak awal pertandingan hingga akhir. Beberapa ada yang terdengar lucu, bahwa ada seorang ibu-ibu yang bilang bahwa di setiap sholatnya justru yang ada dalam doanya adalah tim sepak bola RT kami menang, haha.

Obrolan mereka sebenarnya justru jauh dari suasan panas, namun tetap saja saat berhadapan dengan pihak lawan, wahh suasana memanas, hmmm Indonesia raya. Aku hanya berharap semoga keadaan ini segera selesai dan sesungguhnya tidak perlu terjadi lagi di masa depan, dipertandingan lain yang akan datang. Cukuplah keadaan meamanas hanya di lapangan saja tanpa ada sara dan anarki.

Jika dilihat dari kedua kasus tersebut, sebenarnya ada apa dengan kita ini? Masyarakat Indonesia, betapa mudahnya kita meluapkan emosi negatif kita. Tak bisa kah kita meredam atau bahkan saling bersaing sehat tanpa ada pertengkaran yang berarti.

Apa yang bisa kita lakukan agar hal serupa tidak terjadi lagi. Bahkan pertandingan setingkat Desapun masyarakat juga sangat mudah tersulut emosi, saling mengejek bahkan di luar lapangan. Apa yang salah dengan kita ini? Apakah ini solidaritas yang berlebih ? Kalangan ibu-ibu pun juga turut andil dalam drama perselisihan ini, bahkan keesokan harinya selepas pertandingan final, ada ibu-ibu yang bertengkar di pasar karena saling mengejek.

Ya ampun, bahkan yang kudengar ejekannya juga masuk ke ranah personal yang sebernarnya tak ada hubungannya dengan pertandingan sepak bola. Kita sebenarnya bisa saling mengingatkan, agak tidak mungkin bila kita menasehati atau menenangkan pihak lawan kita, tapi kita bisa mencoba menenangkan teman atau tetangga kita sendiri yang dalam hal kontestasi sepak bola sekubu dengan kita.

Juga tidak serta merta menasehati begitu saja, kita bisa mulai dengan merespon secara tenang segala cerita teman kita mengenai hal tersebut, setidaknya hal kecil seperti itu bisa kita terapkan dalam hal apa saja. Akhirnya kita harus belajar menjadi masyarakat yang tak mudah tersulut emosi dan berpikir rasional tentang bagaimana kita harus bersikap. Bisa kita mulai dengan diri kita sendiri agar tak mudah menganggap orang lain musuh.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun