Mohon tunggu...
Retno Permatasari
Retno Permatasari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Usaha Kecil

seorang yang senang traveling

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Khotbah Mencerahkan, Bukan Mempekeruh

29 November 2018   18:12 Diperbarui: 29 November 2018   18:14 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada zaman nabi Muhammad, masjid punya fungsi  luas. Tidak hanya berfungsi sebagai tempat beribadat seperti Sholat dan zikir. Pada zaman itu masjid juga sebagi tempat sosial dan pengobatan jika ada yang sakit. Singkat kata masjid dipakai untuk hal yang positif.

Masjid zaman itu diupayakan oleh namu untuk bisa mensejahterakan dan bukan untuk membuat susah atau mengajak hal yang negative.  Masjid diusahakan selalu untuk hal positif dan bisa member manfaat bagi sekelilingnya.

Dari sejarah kita bisa belajar bahwa kegiatan masjid diatas lahir beberapa tokoh yang mengembangkan Islam seperti Abu Bakar Shiddiq, Umar bin --al-Khatab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.

Pemaknaan soal masjid ini harus kita cermati dan kita bisa belajar dari itu. Masjid harus mampu memberi banyak manfaat untuk masyarakat. Konteksnya bukan hanya ekonomi tetapi juga kesejukan dan kedamaian untuk semua umat. 

Kesejukan di sini mengandung arti juga bahwa lontaran atau ajaran yang diberikan oleh penceramah masjid haruslah memberikan kesejukan dan kedamaian. Sehingga masyarakat sekitar punya semangat untuk menghadapi banyak tantangan.  

Di sisi lain ada temuan yang menyebutkan bahwa sebagian dari masjid ditengarai sering memberikan ceramah yang berisikan ajaran-ajaran radikal. Seperti  ajakan untuk bertempur di Suriah atau di Filipina Selatan, dimana kaum muslim di sana ingin mendirikan Negara Islam.

Jika kita tengarai pendirian Negara Islam memang tidak bertentangan dengan Al Quran dan sejarah Islam sendiri. Tetapi pendirian Negara islam dalam Negara yang sudah dibentuk dan mengesampingkan masyarakat sekitarnya adalah hal yang patut dicermati. Karena hal itu tidak sesuai dengan konteks nya sendiri.

Ceramah radikal dengan konteks yang dipotong-potong ini tentu merepotkan dan membuat kesan negative soal Islam. Temuan ini tak main-main. Yaitu ada sekitar 41 masjid diantara 100 masjid yang diteliti sering memberikan ceramah yang bersifat radikal. Jumlah ini tentu tak main-main karena nyaris mencapai separohnya. Lebih miris lagi bahwa masjid yang diteliti itu adalah masjid yang terletak di kementrian atau lembaga pemerintah dan BUMN.

Karena itu mungkin kita sebagai masyarakat bisa lebih memperhatikan ceramah yang diberikan oleh penceramah agama. Mungkin khotbahnya perang. Jika perangnya dalam konteks saat nabi berperang untuk  membela agama, mungkin itu bisa kita terima. Tapi jika keluar konteks, semisal kita harus melawan Negara karena agama, tentu ini kita tidak perlu telan mentah-mentah. Karena akan menimbulkan pertentangan dan kekeruhan.

Karena itu jika pemerintah ingin memberikan semacam aturan atau kurikulum yang akan mengatur ceramah, mungkin kita bisa memahami itu. Tujuannya baik. Agar mayarakat muslin yang mendengarkan akan tercerahkan. Atau paling tidak akan memberikan ekses positif dibanding ekses negatif.

Bukannya khotbah itu harus mencerahkan, bukan memperkeruh.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun