Mohon tunggu...
Retno Permatasari
Retno Permatasari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Usaha Kecil

seorang yang senang traveling

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibu Harus Jadi Agen Literasi Media di Keluarga

23 April 2018   23:55 Diperbarui: 24 April 2018   00:05 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Literasi Media - nu.or.id

Perkembangan dunia maya memang tidak bisa dibendung. Namun, konten yang beredar di dunia maya, nampaknya sudah semakin mengkhawatirkan.

Banyak orang yang mulai memanfaatkan atau menyalahgunakan dunia maya dan media sosial, untuk kepentingan yang tidak baik. Salah satunya menggunakan media sosial untuk penyebaran ujaran kebencian. Dan ironisnya, kebencian ini justru diproduksi secara sengaja dan dijual kepada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Dalam kontestasi pilkada ini saja misalnya, ujaran kebencian terus diproduksi oleh oknum-oknum yang ingin mendapatkan keuntungan. Dalam pilkada DKI waktu itu muncul organisasi Saracen. Beberapa waktu lalu muncul muslim cyber army (MCA). Tidak tahu sebentar lagi akan muncul organisasi apa.

Di dalam dunia maya pun, dinamikanya begitu terasa. Tidak hanya ujaran kebencian, informasi hoax juga terus bermunculan. Bahkan provokasi demi provokasi terus digulirkan, seperti penyerangan ulama di beberapa daerah. Dan ironisnya, dinamika yang terjadi di media sosial dan provokasi demi provokasi tersebut, lebih banyak ditujukan kepada kalangan remaja.

Kenapa remaja menjadi sasaran? Karena mayoritas pemilih pada pilpres 2019 mendatang adalah pemilih muda. Artinya, yang menjadi penentu siapa presiden pada 2019 mendatang, berada pada pilihan kaum muda.

Itulah kenapa banyak pihak berusaha mempengaruhi anak dan remaja, agar bisa mudah terpengaruh dengan informasi yang menyesatkan. Tidak sedikit pula, anak dan remaja yang menjadi korban dari provokasi media sosial.

Pola semacam ini sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh kelompok radikal dan jaringan terorisme. Mereka memunculkan propaganda radikalisme, agar banyak anak muda bergabung menjadi kelompok mereka. Tidak sedikit pula anak muda Indonesia yang memilih berangkat ke Suriah ketika itu, bergabung dengan kelompok ISIS.

Tidak sedikit pula, anak-anak yang menjadi radikal, dan menganggap orang tuanya kafir. Bahkan, ada yang berani melakukan aksi bom bunuh diri. Hampir sebagian dari aktifitas tersebut, dipengaruhi dengan provokasi yang diunggah di dunia maya.

Pola yang mirip-mirip itu, sepertinya coba diterapkan dalam politik nasional. Oknum politisi sengaja merangkul kelompok intoleran, untuk menyebarkan kebencian yang ditujukan kepada pihak yang bertarung dalam pilkada ataupun pilpres. Tujuannya adalah untuk menurunkan elektabilitas pasangan calon.

Bahkan, tidak menutup kemungkinan ada yang berusaha membuat kondisi keos, kondisi yang tidak stabil, agar bisa memicu terjadinya konflik sosial. Dalam kondisi yang serba tidak stabil tersebut, pemerintah akan menjadi kambing hitam karena tidak bisa mengendalikan stabilitas nasional.

Dan dalam kondisi yang tidak stabili itu pula, bisa berpotensi mengundang kelompok radikal dan jaringan teroris bergabung. Mereka akan memanfaatkan situasi untuk menebar teror.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun