Mohon tunggu...
Resti Sari
Resti Sari Mohon Tunggu... Perawat - tie

Penulis amatir, pengkhayal profesional

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Guru yang (Kembali) Terabaikan

25 November 2018   13:12 Diperbarui: 25 November 2018   13:17 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebuah paradoks tengah terjadi. Guru, seperti harapan masyarakat, haruslah mereka yang berilmu. Tetapi, bercita-cita menjadi seorang guru justru menjadi olok-olok keterbelakangan berpikir. Guru seolah-olah hanya pantas menjadi cita-cita masyarakat masa lalu.

Semua orang mungkin sepakat, jika profesi guru haruslah diisi oleh mereka yang mempunyai bekal ilmu yang banyak. Namun, realitanya, siapa juga orang tua saat ini yang menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi untuk kelak menjadi seorang guru?

Dua puluh tahun lalu, saat Era Reformasi mendobrak seluruh tabu yang menyelubungi bangsa ini, persoalan perbaikan nasib guru ikut mengapung ke permukaan. Sebab, sudah terlalu lama para 'pahlawan tanpa tanda jasa' ini dibungkam oleh stereotip bahwa guru tak boleh mengeluh. Tak elok menuntut perbaikan nasib. Itu pemali!

Terjadilah demonstrasi guru besar-besaran kala itu. Mereka menuntut pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk lebih memperhatikan nasib mereka. Gus Dur lantas menaikkan gaji guru hingga 270% untuk golongan gaji terendah, dan 100% untuk golongan tertinggi.

Namun angka tersebut masih terbilang kecil jika dibandingkan dengan gaji karyawan swasta atau pegawai BUMN. Sebab, kenaikan ini sebenarnya hanya merupakan penyesuaian terhadap dampak krisis moneter 1998, saat nilai tukar rupiah yang anjlok di bandingkan dolar AS.

Barulah tujuh tahun kemudian, harapan para guru ini dipenuhi oleh pemerintah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan UU nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Aturan ini mewajibkan guru bersertifikasi, sehingga berhak mendapatkan Tunjangan Profesi Guru (TPG) sebesar satu kali gaji pokok.

Pada lima tahun pertama pemerintahan SBY, gaji guru naik lebih kurang 15% setiap tahun. Di lima tahun berikutnya, kenaikannya sekitar 5-7% setiap tahun. Di akhir pemerintahannya tahun 2014, rata-rata gaji pokok guru adalah 3 - 5 juta/bulan. Jika ditambah TPG, penghasilan mereka mencapai 6- 10 juta/bulan. Selain itu mereka juga menerima gaji ke-13.

Sayang, di masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), nasib para guru ini seolah kembali terabaikan. Tidak ada lagi kenaikan gaji. Meski subsidi berkurang, ekonomi kian sulit, harga-harga kebutuhan pokok membumbung tinggi, akibat rupiah yang terombang-ambing di tengah keperkasaan dolar AS.

Padahal, kita menyadari bahwa salah satu persoalan utama bangsa ini adalah runtuhnya mutu dan integritas pendidikan. Mustahil bisa mencerdaskan generasi bangsa tanpa pemuliaan harkat dan martabat guru. Kondisi ini yang harus kembali diperbaiki.

Perbaikan juga harus dilakukan terhadap nasib para guru honorer. Selama empat tahun terakhir, tak ada seorang pun yang diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Bandingkan dengan era SBY yang telah mengangkat lebih dari sejuta tenaga honorer menjadi PNS.

Mengutip pernyataan Komandan Komando Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) kala menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi dan nasib guru;

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun