Mohon tunggu...
Reni P
Reni P Mohon Tunggu... Buruh - Saintis yang lagi belajar nulis

Seneng guyon Visit renipeb.medium.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gempa, Pengingat Kematian dan Kesempatan

11 Oktober 2018   19:57 Diperbarui: 11 Oktober 2018   20:08 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Regional Kompas

Belum tepat pukul 02.00 dini hari, gempa mengguncang 61 km jaraknya dari Situbondo. Goncangannya jelas terasa hingga ke jantung Ibu Kota Jawa Timur. Getarannya cukup untuk membangunkan hingga membuat perasaan dan pikiran panik seketika. Akankah hari ini hari terakhir dalam hidup?

Tak terpikir untuk membawa surat-surat semacam KTP ataukah ijazah. Yang pertama kucari hanyalah mukena untuk menutup aurat agar setidaknya tidak terlalu terbuka ketika memang harus keluar rumah. Tapi, memang paniknya hanya sebatas itu karena sebelumnya gempa yang pernah kualami hanya sebatas goncangan a la anak yang membangunkan ibunya.

Setelah mereda, beberapa kerabatku, hangat dalam obrolan memperbincangkan kembali kejadian yang dianggap konyol untuk sebuah kepanikan orang ketika getaran bumi membangunkan mereka. Tapi, yang mengganggu di pikirku, apakah akan menjadi lucu ketika atap rumah kami sudah tak berada dalam posisinya lagi?

Kemudian tersadar betul apa yang dikatakan salah satu kerabatku yang lain, betapa dekatnya kita akan kematian. Menyesalnya sebegini lupa dengan rasa semacam ini, apa mungkin terkabur rutinitas dan segala ambisi masa depan jarak pendek. Padahal, ada masa depan, yang bagi saya adalah masa yang abadi. Alam akhirat.

Bagaimana bisa kuat membayangkan ibu dan ayah saya sendiri harus melihat anaknya terkubur reruntuhan bangunan? Dicabut nyawanya dalam keadaan tak terduga. Lalu apa saya juga bisa membayangkan bagaimana diri saya harus kehilangan ayah, ibu, dan adik-adik di rumah? Dan lagi bertambah payah bila harus berabstraksi kalau banyak sekolah dan pusat pemerintahan roboh dan lumpuh dalam melanjutkan peradaban. Apa yang harus saya perbuat?

Terdengar berlebihan, tapi nyatanya hal tersebut dialami oleh saudara kita di Donggala. Alam dengan sikapnya, mampu merenggut nyawa dalam satu helaan napas. Tak butuh berhari-hari untuk memporak-porandakan negeri, tak butuh teknologi nuklir untuk sekedar menenggelamkan suatu umat. Mudah tanpa bantah.

Dongeng guru agama SD tentang penggambaran kiamat bukankah terasa nyata? Banyak anak dan ibu yang terpisah, tak tahu apa yang dibawa, yang penting hidup masih bisa dipertahankan. Mobil, rumah, bangunan tak berharga, apa yang lebih penting selain nyawa?

Sebegitu takutkah kita dengan kematian?

Iya.

Kematian adalah bentuk kehilangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun