Mohon tunggu...
Surya Narendra
Surya Narendra Mohon Tunggu... ASN -

Kapan kita akan melakukan revolusi, Kawan Bejo?

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gantungkan Nafsumu Menjadi PNS (Menjawab Artikel "Gantungkan Cita-Citamu Setinggi PNS)

24 Agustus 2015   07:51 Diperbarui: 24 Agustus 2015   08:14 1708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagai seorang "penulis wanna be", saya harus mulai belajar menjawab tulisan dengan tulisan. Tak patut jika seorang penulis menjawab tulisan dengan umpatan, apalagi dengan cara menghunuskan pasal pencemaran nama baik. Sungguh bukan budaya tulis-menulis yang sehat.

Oleh karena itu saya akan mengomentari tulisan milik Kompasianer Robbi Gandamana dengan tulisan pula. Artikel dimaksud berjudul Gantungkan Cita-Citamu Setinggi PNS yang di-post pada hari Rabu, 19 Agustus 2015 pukul 14:56:19.

Dari segi kebahasaan saya sangat suka dengan cara tutur Bang Robbi ini. Bahasanya renyah sampai ke remah-remah. Cara bertutur favorit saya dari dulu. Tiap kalimatnya sangat mudah dipahami. Humornya cukup pada level menggelitik saja, tidak sampai membuat terbahak. Sungguh elegan tapi merakyat.

Namun saya akan lebih banyak berkomentar dari segi substansinya, karena sebagai bocah yang baru 5 bulan bekerja di sektor pemerintah tulisan Bang Robbi sungguh sangat merangsang inspirasi saya yang telah lama mati suri. Dibunuh oleh aktivitas birokrasi yang menyita waktu dan pikiran. Sekedar informasi, saya sekarang sedang mencoba mengabdi di Kementerian Hukum dan HAM RI dengan jabatan "C" di depan PNS.

1. Nama Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai salah satu nama mata pencaharian sekarang telah diganti dengan sebutan Aparatur Sipil Negara (ASN) seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Karena baru seumur jagung, jadi saya sangat memaklumi istilah PNS masih lebih catchy dibanding ASN. Bahkan saya juga masih sering mengatakan PNS. Ini menjawab keresahan Bang Robbi tentang kata "negeri" dalam singkatan PNS.

2. Kecurangan, kong kalikong kodhok bangkong, gok menyogok uang segepok seperti yang diceritakan Bang Robbi tidak bisa saya salahkan 100%. Mungkin memang masih ada praktek-praktek pungli dalam penerimaan CPNS. Tetapi alhamdulillah saya berhasil masuk lewat jalur normal. Ya meskipun tidak sama sekali gratis, karena bagaimanapun juga jer basuki mawa bea.

3. Cita-cita seseorang adalah hak pribadinya masing-masing, kita tak berhak bergunjing tentang cita-cita dan profesi seseorang. Apalagi sampai melarangnya, sungguh sikap yang kurang baik.

Meski begitu, saya termasuk orang yang setuju dengan Bang Robbi. Selama masih bisa mengejar dan menggapai cita-cita yang lain, tolong jangan bercita-cita jadi PNS. Bahkan saya, yang bercita-cita jadi PNS dan sudah berjalan menuju pencapaian cita-cita itu saja, sangat menyarankan jangan jadi PNS. Kalau umur masih muda, fisik masih prima, dan otak masih jaya, lebih baik bekerja di sektor kreatif saja. Menjadi penulis, fotografer, komikus, musisi, atau mungkin gamer profesional dengan penghasilan 30 juta perbulan. Alternatif lain jadilah pengusaha, wiraswasta.

4. Saya menyarankan untuk tidak bercita-cita sebagai PNS, padahal saya sendiri dulu sangat bernafsu jadi PNS, semata-mata demi kebaikan anda semua dan demi kebaikan negara.

Saya menyangka profesi PNS sangat diminati oleh hampir seluruh rakyat Indonesia disebabkan oleh 4 hal, yaitu gajinya tinggi, kerjanya santai, dapat uang pensiun, dan level gengsinya yang menyilaukan mata setiap calon mertua. Fakta yang saya dapatkan selama 5 bulan di kantornya Pak Yasona Laoly lumayan jauh dari sangkaan orang-orang.

Gaji tinggi? Tunggu 30 tahun lagi, setelah jadi pejabat eselon 1 atau eselon 2, baru bisa dibilang gajinya tinggi. Kalau hanya sebagai PNS berpangkat rendah dan menengah, gajinya hanya cukup saja. Cukup untuk makan, tempat tinggal, dan pulsa internet. Apalagi saya ditempatkan di kantor pusat di Jakarta. Untuk sebuah kamar kos sempit di lingkungan pasar yang kumuh saja saya sudah harus membelanjakan seperempat gaji dan tunjangan saya. Belum lagi urusan perut yang tidak cukup lima ribu rupiah seporsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun