Mohon tunggu...
Reda Gaudiamo
Reda Gaudiamo Mohon Tunggu... -

a daughter-sister-wife-mother-friend

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Bermain...

22 Desember 2015   08:52 Diperbarui: 22 Desember 2015   10:54 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Minggu sore lalu, Canga Anton dan Candra Widanarko mengajak bertemu, ngobrol-ngobrol. Sudah lama kami tidak bertukar cerita, sejak album AriReda selesai. Canga dan Candra memilih Kedai Tjikini.

Pertemuan segera dilaporkan kepada empunya kedai, Dharmawan Handonowarih, yang menawarkan menu istimewa: Gudeg Komplit Bu Dharmo dari Matraman Raya. Cocok nian untuk sore menjelang malam nanti.

Waktu yang ditetapkan tiba, Canda, Canga dan Riku sudah di sana. Kami mengobrol panjang pendek, tertawa, prihatin, gemas, dan geli bermunculan satu-satu. Ditemani Dharmawan, percakapan makin seru.

Nah, ketika kami sibuk mengobrol itu, Candra dan Canga berkali-kali mengingatkan Riku untuk tidak membuka pad, dan terpaku pada youtube. Jelas bukan hal mudah, karena orang-orang dewasa yang ada di sekitarnya semua bicara tentang hal-hal yang tak terlalu menarik untuknya. Dan kalau Riku sampai menyela percakapan kami, ingin tahu lebih jauh tentang topik yang dibahas, bisa jadi semua akan gelagapan juga. Jadi akhirnya Riku pada youtube-nya.

 Ini jadi perhatian Dharmawan.

Ketika percakapan mereda, ia bangkit, dan mengajak Riku bermain. Mengangkat sebelah kaki, dan meminta Riku menumpangkan kakinya ke kaki Dharmawan. Permainan ini perlu peserta tambahan. Candra masuk, dan mengaitkan kakinya. Semua berlangsung dengan tawa ramai. Setelah tiga kaki saling terkait, mereka bertiga berlompatan. Cuma beberapa detik. Riku tertawa lepas, dan minta permainan diulang. “Ini harusnya dimainkan empat orang,” kata Dharmawan. Canga diajak, tapi punggung dan kaki bermasalah. Saya lantas mengajukan diri. Sudah amat sangat lama sekali tidak memainkan yang satu ini. “Tapi pakai sarung, tuh?” kata Candra. Ah, gampang! Tinggal diangkat sedikit, beres.

 Maka jadilah kami berempat saling silang kaki.

Dari mulai kaitan pertama saja, Riku sudah tertawa terbahak-bahak. Selesai semua berkaitan, kami melompat-lompat, berputar searah jarum jam (kesepakatan bersama). Baru satu putaran, semua kaitan terlepas lagi. Permainan diulang lagi. Ramai lagi, heboh dan penuh tawa lagi. Kami berhenti karena tiga peserta mulai menggeh-menggeh, mengabaikan permintaan Riku untuk diulang sekali lagi. Maaf Riku, sesak napas nih!

Setelah selesai itu, baru sadar kalau ada beberapa pasang mata mengamati perilaku tadi. Tapi biarlah, toh kami bermain bersama pemilik kedai. Ide datang darinya pula.

Dharmawan rupanya belum mau Riku kembali ke ipad. Sehingga sambil mengatur napas selesai berlompatan tadi, ia datang dengan permainan lain: hitungan meleset, menebak lokasi koin di tangan yang mana, . Yang terakhir, permainan mengacaukan konsentrasi, berlangsung hingga berjalan keluar pintu kedai.

Satu yang kami sadari kemudian, di satu meja tak jauh dari kami, sedang santap makan sebuah keluarga: ayah, ibu, dan dua anak. Sejak kami bermain, anak-anak itu terus mengamati. Hingga kami pulang. Mungkin ingin ikut bermain. Mungkin juga tak pernah melihat permainan itu. Mungkin juga tak pernah bermain seperti itu dengan ayah dan ibunya. Entah. Yang pasti kemarin adalah malam yang sangat menyenangkan di Kedai Tjikini.

 

Terima kasih, Dharmawan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun