Mohon tunggu...
Ridwan
Ridwan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Puncak Asma

3 Desember 2017   20:30 Diperbarui: 3 Desember 2017   20:37 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gunung itu sangat tinggi dan besar. Terkadang barisan awan mengelilinginya hingga bisa menutupinya. Di puncak itu ada sebuah nama. Nama yang lebih dari sekedar nama. Sumber asal-muasal, tujuan, cinta, dan alasan. Nama itu sudah ditanamkan di dalam hati tiga orang pendaki, Arul, Beni, dan Ciko. Tiga orang teman itu siap untuk mendaki gunung itu dan mencapai puncak, untuk melihat yang selama ini belum terlihat.

Mereka mulai mendaki. Arul, karena sudah banyak pengalaman dan kenal dengan banyak pembimbing pendakian, dia berjalan begitu cepat sekali, melesat, meninggalkan Beni dan Ciko. Dia seperti terbang di antara mereka yang berjalan. Manusia penghuni langit. Beni dan Ciko mulai berjalan, perlahan. Beni selalu terburu-buru, bertindak dengan cepat, jalan pun cepat. Sementara Ciko, sangat santai, cenderung terlalu santai dan pemalas. Mereka berdua saling melengkapi. Yang satu penarik, yang satu pengerem.

Ciko ingin berjalan perlahan, menikmati setiap jalan yang mereka lewati. Menikmati bukit, kelokan, aliran sungai, melihat petani bekerja, membenamkan diri dalam terpaan angin, menikmati segalanya. Baru saja beberapa langkah, ada warung, mereka berdua berhenti di situ. Beni memesan kopi panas, sementara Ciko memesan cokelat panas. Nikmat sekali, dibuat dan disajikan dengan seadanya, dan murah meriah. Mereka berdua ngobrol di warung itu, bersama pemilik warung itu. Menikmati setiap obrolan dan pertemuan dengan orang-orang.

Perempuan-perempuan bertemu dan mengobrol dengan Beni dan Ciko di tengah perjalanan. Seperti biasanya, jika perempuan itu tertarik untuk berjalan bersama, mereka akan bersama-sama, tetapi jika tidak, ya sudah, masing-masing. Ciko selalu diingatkan agar tidak memberikan harapan palsu pada setiap perempuan. Ciko pun kadang bingung, sikap dia memang seperti itu pada perempuan, baik, penuh perhatian, memberikan kenyamanan. Perempuan merasa nyaman jika di dekat Ciko. Hampir setiap mereka merasa diistimewakan oleh Ciko. Padahal, Ciko begitu pada semua perempuan.

Beni dan Ciko tiba di suatu tempat. Dari tempat itu mereka bisa melihat ke bawah, tempat mereka memulai perjalanan. Di bawah sana banyak sekali orang. Mereka ada yang tidak tahu cara dan jalan untuk mendaki. Ada yang tidak membawa bekal untuk mendaki. Ada yang tahu tapi malas untuk mendaki. Bahkan ada yang kebingungan kenapa mereka ada di sana. 

Beni yang melihat itu, langsung turun lagi ke bawah. Beni memberi tahu mereka cara dan jalan untuk mendaki. Mengenai mereka mau ikut atau tidak, itu terserah mereka. Di sinilah mereka berdua berbeda. Ciko belum sampai pada titik Beni: mencintai orang lain seperti mencintai diri sendiri. Ciko hanya melihat. Biasanya, jika ada yang bertanya padanya, baru dijawab. Bila ada yang mendekat, baru dirangkul. Bila ada yang ingin berjalan bersama, baru digenggam. Dia memiliki jurus jitu keterserahan. Terserahlah!

Kisah itu sudah mereka jalani di setiap jalan yang mereka lewati. Perjumpaan dengan banyak orang membuat kisah mereka menjadi menarik. Perjalanan pendakian, menjadi kisah untuk mereka di setiap momennya. Karya mereka ditinggalkan pada setiap jejak-jejak yang istimewa. Perjalanan ke atas bukan perjalanan untuk pergi, tetapi perjalanan untuk kembali. Menuruti kehendak-Nya, untuk sampai pada puncak asma-Nya. Bersama selamanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun