Sebagai pembelajar, penulis mengangguk terhadap fakta ini. Kebanyakan karya tulis besar (esai, cerpen, karya ilmiah, dan lain-lain) yang masih lekat di ingatan berawal dari goresan pensil di atas kertas.Â
Goresan berisi alur ide yang menjadi kerangka tulisan-tulisan tersebut. Penulis masih bisa mengingatnya sampai saat ini. Itu semua karena mereka dituliskan di atas kertas.
Seperti sebuah cerpen berjudul "Bunga Alamanda di Pinggir Jalan" yang pernah penulis buat. Karya tersebut selesai pada tahun 2017 untuk penugasan Bahasa Indonesia. Tetapi, penulis masih mengingat detil cerita itu sampai sekarang.Â
Ingatan itu masih berbekas karena cerpen itu berawal dari goresan ide yang dilakukan di kelas. Coba kalau tidak pakai kertas? Cerpen tersebut pasti menguap dari benak.
Penjabaran di atas membuktikan pentingnya kertas dalam proses kreatif sebagai penulis. Ia membantu para penulis dalam memproses informative input yang mendorong proses kreatif.Â
Dalam proses kreatif, kertas menjadi pelindung dari gangguan plug-in teknologi dan menajamkan otak kita sebagai sumber kreativitas. Akhirnya, penulis pun mampu meningkatkan kemampuannya sebagai pelaku kepenulisan.
Ketika kemampuan tersebut meningkat, stature penulis tersebut pasti tumbuh. Ia menjadi seperti pohon yang tumbuh ke atas. Semakin tinggi dan semakin banyak tantangan yang harus dihadapi.Â
Tantangan inilah yang akan mengeksplor kreativitas penulis sampai ke akar-akarnya. Tanpa kreativitas, seorang penulis pasti tumbang diterpa tantangan yang menggunung.
Jadi, hari gini masih pakai kertas? Hello, jadi penulis itu harus kreatif. Untuk menjadi kreatif, kita perlu benda riil sebagai penampung ide-ide dari benak kita. Tanpanya, ide-ide itu pasti tercecer dan terbuang percuma.
Untung kertas hadir untuk menampung ide-ide tersebut.
SUMBER
mentalfloss.com. Diakses pada 2 Agustus 2019.