Mohon tunggu...
MOH. ABD. RAUF
MOH. ABD. RAUF Mohon Tunggu... Mahasiswa -

World knows you, if then you create words to be a great text

Selanjutnya

Tutup

Politik

Belajar dari Ahok: Memaknai Kembali Penodaan Agama yang Terpenjara Dalam Politisasi

3 Februari 2017   21:19 Diperbarui: 4 Februari 2017   06:28 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumen Pribadi

Kata “noda” pada kalangan masyarakat dikenal sebagai kotoran atau gangguan yang melekat pada pakaian. Ironisnya kata tersebut menjadi booming pasca tersebarnya video Gubernur non aktif DKI Jakarta yang berdurasi sekitar 31 detik. Salah satu pengguna sosial media yang bernama Buni Yani adalah pegunggah pertama video tersebut. Video tersebut langsung menjadi perbincangan dan viral bagi netizen di dunia maya. Setelah beberapa jam kemudian banyaknya akun sosial media yang menjustifikasi bahwa hal tersebut ialah perlakuan yang berkedok penodaan agama.

Secara hukum, tidak ada definisi atau pengertian yang jelas tentang penodaan agama. Dalam Pasal 1 UU PNPS maupun Pasal 156 a KUHP (pasal penodaan agama)juga tidak memberikan definisi ataupun penjelasan yang detail tentang penodaan agama. Hal tersebut juga ditanggapi oleh mantan Menteri Agama, Surya Dharma Ali yaitu “sebetulnya (UU PPA) sekarang  sudah efektif. Tinggal mungkin kejelasan apa itu penodaan”. Karena hal sama tentang penodaan agama pernah menjadi gugatan kepada kelompok Ahmadiyah yang dianggap mengejawantahkan kegiatan bertentangan dengan ajaran islam. Penulis berasumsi bahwa penodaan agama adalah suatu hal berupa perkataan (statement) maupun perlakuan (action) yang memberikan perbedaan atau perubahan pada sesuatu baik disengaja atau tidaksengaja.

Namun, menyikapi definisi atau pengertian yang masih belum pemanen banyak anggapan bahwa penodaan agama ialah melecehkan  atau menghina suatu ajaran agama. Sorotan perihal lain antara disengaja ataupu tidak tindakan tersebut masih bersifat absurd. Karena sejatinya tindakan yang dilakukan oleh Basuki Djahja Purnama (Ahok) dominan dianggap memprovokasi umat muslim dalam pidatonya. Ketika beberapa kalangan pro Ahok menilai hal tersebut sangat tidak bermasalah. Beberapa alasan mendasar yang didalihkan ialah; Pertama, mengingat Indonesia sebagai Negara Demokrasi yang menjunjung tinggi HAM. 

Pernyataan Ahok yang mengutip QS Al-Maidah ayat 51 “Bapak ibu nggak bisa pilih saya, karena dibohongin pake almaidah 51 macem-macem itu. Itu hak bapak ibu ya” itu didalihkan sebagai bentuk mengaplikasikan Pasal 28E UUD 1945. Kedua, ditinjau dari ilmu linguistik, pernyataannya sangat sekali jelas bahwa Ahok tidak menghina atau merendahkan ayat surah tersebut. Karena perbedaan yang sangat cenderung dalam perkataannya Ahok menggunakan “pakek(pakai)” bukan “oleh” jadi disana berarti ditujukan kepada rivalnya atau paslon lain yang menggunakan ayat tersebut saat berkampanye. 

Menanggapi hal tersebut beberapa cendekiawan muslim maupun pakar hukum menilai apa yang dilakukan di Kepulauan Seribu sangat fatal salah. Karena pada saat itu kunjungan tugas kedinasannya untuk meninjau nelayan disekitar panen ikan kerapu tetapi digunakan untuk menyelipkan perkataan yang berbau  kampanye.

Pernyataan yang dianggap menodai agama itu langsung mendapat respon kontradiktif oleh umat muslim terutama di media masa. Tertutama aksi damai 411 dan 212 yang dipelopori langsung oleh pimpinan Fron Pembela Islam (FPI). Aksi tersebut semata-mata hanya ingin menjunjung keadilan negara yang bernuansa hukum ini dalam menyelesaikan satu kasus yang membuat umat muslim resah. Presiden Joko Widodo yang pada aksi 411 tidak bisa bertemu dengan demonstran pada  akhirnya di aksi 212 langsung memberikan tanggapan solutif. Beliau meminta dan menyerahkan kepada Polri agar penanganan kasus ini dilakukan secara cepat, tegas, dan transparan. Hal ini demi meyakinkan publik bahwa pemerintah bersikap profesional dalam hak penegakan hukum.

Kasus tersebut memiliki dampak yang sangat tidak mencerminkan Negara yang berideologi Pancasila. Karena isu SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan) muncul ditengah proses pilkada berlangsung. Banyaknya asumsi diutarakan oleh warga dalam menilai aksi itu. Dari yang bertujuan untuk menjunjung tinggi keadilan hukum dan juga adanya hembusan angin politik

Dalam perspektifnya penulis menilai ada 2 faktor terjadinya aksi yang menghadirkan jutaan masyarakat.

Pertama, (self-conscince)demonstran yang mengikuti aksi tersebut berangkat dari hati nurani untuk membela sepenuhnya agama yang dianut. Seperti halnya noda/kotoran yang berada di pakaian, pemilik pasti akan berusaha untuk membersihkan dengan cara apapun. Ketika noda/kotoran tersebut tidak bisa hilang maka sang pemilik disaat memakai akan merasakan malu atau resah dilihat oleh orang lain. Sama halnya agama yang menjadi panutan dalam menjalankan hidup tujuannya untuk mendapatkan ketentraman, kesejahteraan, dan kebahagiaan dihina oleh orang lain.

Kedua, (devide et impera) hal ini siklus politik berjalan dengan mulus dalam menggiring adu domba yang bersifat atraktif, reaktif, serta provokatif. Beberapa oknum yang menjalankan peran ganda double movement untuk menggiring agar masa demonstran masif dan mempropagandakan hal yang berbau SARA. Karena kita ketahui kejadian ini terjadi ditengah-tengah situasi proses pemilihan gubernur DKI Jakarta. Jadi ada beberapa yang memanfaatkan situasi atau momen panas ini dalam artian lain ingin menjatuhkan salah satu paslon dengan isu agama.   

Pada akhirnya, kasus yang diduga sebagai Penodaan atau Penistaan Agama ini memberikan suatu pelajaran bagi kita untuk tidak langsung percaya terhadap hal yang dilakukan oleh kaum mayoritas. Kita perlu berhati-hati dalam menyikapi hal apapun dilain problematika yang melanda negeri ini adalah tercuatnya berita palsu atau HOAX. Melihat dari sisi lain kita bisa lebih memahami kebijakan pemerintah dalam mengatasi suatu masalah seperti perbedaan pendapat, keyakinan, peranan politik, dan asas hukum pemerintahan. Karena sejatinya legitimasi hukum adalah bukan yang lemah akan kalah dan juga bukan yang kuat akan menang. Akan tetapi yang benar akan menang dan yang salah akan kalah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun