Mohon tunggu...
La Ode Muh Rauda AU Manarfa
La Ode Muh Rauda AU Manarfa Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Sosiologi Universitas Dayanu Ikhsanuddin

Seorang musafir yang sedang melakukan perjalanan jauh, mencari sesuatu untuk dibawa pulang kembali. Selama perjalanan mengumpulkan pecahan-pecahan pengalaman yang mungkin akan berguna suatu saat nanti.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sebuah Renungan

9 Februari 2016   11:01 Diperbarui: 9 Februari 2016   11:19 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Suatu pagi saya berjalan-jalan di sekitar stasiun kereta api Bogor. Pada salah satu sisi trotoar menuju pintu masuk stasiun yang kebetulan bersisian dengan taman plaza kapten Muslihat, saya melihat segerombolan ibu-ibu sedang senam pagi. Ibu-ibu itu meliuk-liukan tubuhnya mengiringi musik yang beralun pelan, sepertinya telah tiba masa pendinginan dari rangkaian senam yang dilakukan mereka. Perhatian saya tiba-tiba teralih pada sesosok orang yang berada tidak jauh dari ibu-ibu itu.

Seorang gadis berbaju merah kira-kira berusia 20 tahun, ia diam, mematung, memandang ibu-ibu tadi dengan pandangan sedih. Ia sedih tapi tidak sampai menangis, seperti tertahan atau telah lelah, entahlah. Yang mengagetkanku adalah kondisi gadis itu yang tidak seperti gadis biasanya, ia tiada bertangan, tiada berlengan, kedua lengannya tidak ada. Ia tiada berkaki, tiada berbetis, tiada berpaha, kedua pahanya tidak ada. Yang nampak di mataku hanyalah seonggok badan yang memiliki kepala berambut lurus sebahu tanpa kedua kaki hingga paha, tanpa kedua tangan hingga lengan.

Di depan gadis itu tersedia kotak yang berlubang, yang nampaknya dipersiapkan bagi siapa saja yang mau memberikan sumbangan.

hhmmmmmmmhhhhhh......

Hidup itu berat, hidup memang berat. Beratnya hidup yang saya jalani, masalah keseharian yang kuhadapi nan tidak kunjung tuntas, tidak terbayangkan bagaimana jika diriku seperti gadis itu. Mampukah aku?

Dengan helaan nafas yang berat, termenung, shock melihat cobhaan berat yang dijalan seorang gadis pagi itu membuat langkahku melambat sembari memperhatikan ekspresinya raut wajahnya kepada setiap yang lewat di hadapannya.

Saya sudah lupa apakah saat itu saya ikut menyumbang atau tidak, jujur saya terpana dengan pemangangan itu hingga membuatku lupa apakah sudah atau belum dalam menjalankan standar operasional baku ketika bertemu dengan orang yang tak berpunya.

Saya punya kaki, saya punya tangan. Saya punya kuasa terhadapnya, terkadang hingga sering saya tidak pergunakan dengan sebaik-baiknya. Ia lebih banyak saya istrahatkan dibandingkan dimanfaatkan untuk kepentingan diri atau membantu sesama ciptaan yang membutuhkan. Ada rasa penyesalan, ingatan ini terus mendatangiku berhari-hari setelah penampakan itu. Terus mengetuk nuraniku untuk, menyampaikan pesan supaya lebih sadar diri, agar tidak lalai mempergunakan organ tubuh yang Tuhan telah berikan.

Menyaksikan penderitaan orang lain sudah membuatku jadi merasa sangat lain, tidak tega rasanya. Bukannya menikmati, secepat mungkin saya hindari seraya menyegerakan diri untuk mengambil pelajaran dan hikmah atasnya.

Mudah-mudahan pengalaman yang kubagikan ini turut menginspirasi pembaca. Mari pergunakan organ tubuh yang kita punyai dengan sebaik-baiknya. Masih banyak orang di luar sana yang tidak memiliki organ tubuh secara lengkap sebagaimana yang dimiliki oleh orang kebanyakan.

Penghormatanku kepada mereka yang telah tegar menjalani kehidupan beratnya, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberi kemudahan kepada mereka dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Amin. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun