Mohon tunggu...
Ratu Adil
Ratu Adil Mohon Tunggu... -

Political and Corporate Spy with 15 Years Experience.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Skandal Pajak BCA, Next Target: Raden Pardede

23 April 2014   23:04 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:17 1365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Munculnya skandal pajak BCA senilai Rp 375 miliar banyak menuai pertanyaan. Banyak yang mengatakan kalau ada motif politik dalam terkuaknya kasus ini. Boleh jadi benar demikian. Namun tentu saja, meski ada motif politik di belakang terkuaknya kasus ini, itu tidak berarti kasus ini mengada-ada. Politisasi kasus itu sejatinya bukan merekayasa kasus, melainkan memainkan timeline atau waktu untuk membukanya. Momentum tertentu biasanya menjadi acuan untuk mempolitisasi sebuah kasus.

Seperti misalnya, pemeriksaan Anas Urbaningrum oleh KPK yang dilakukan berbarengan dengan sidang Rudi Rubiandini dalam kasus SKK Migas di PN Jaksel. Tentu saja, popularitas isu Anas Urbaningrum dapat menutup sorotan terhadap sidang Rudi Rubiandini terkait SKK Migas. KPK, tampaknya memanfaatkan situasi itu untuk menjadwalkan pemeriksaan Anas Urbaningrum bersamaan dengan jadwal sidang Rudi Rubiandini di PN Jaksel. Bukan PN Jaksel yang menyamakan jadwal sidang Rudi dengan Anas Urbaningrum, melainkan KPK yang sengaja menyamakan jadwal pemeriksaan Anas dengan sidang Rudi.

Itu satu contoh. Contoh lainnya yang akan saya berikan adalah yang berkebalikan dengan itu, bagaimana menghindari politisasi sebuah kasus. Seperti kita tahu, Gubernur Bank Indonesia yang dulunya menjabat Menteri Keuangan, lalu sebelumnya menjabat Direktur Utama Bank Mandiri Agus Martowardoyo memiliki agenda. Ialah, membangun dinasti di otoritas keuangan Indonesia. Seluruh Direksi Bank Mandiri pasca Agus Marto adalah orang-orang beliau. Seluruh Menteri Keuangan pasca Agus Marto juga demikian, orang-orang dari kubu Agus Marto. Dan terjadilah dinasti Agus Marto di Bank Mandiri, Kementerian Keuangan (meliputi Bapepam-LK, Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai) dan Bank Indonesia.

Agus Marto memiliki rencana menjadikan Bank Tabungan Negara (BTN) di bawah kelola Bank Mandiri sudah sejak lama. Seorang teman yang bekerja di sebuah konsultan yang dipakai oleh Agus Marto pernah bercerita, kalau ia membuat perencanaan akuisisi Bank Mandiri dengan BTN sudah sejak tahun 2012. Bukan kebetulan, pada akhir 2012, BTN merombak jajaran direksinya dan menunjuk Maryono sebagai Direktur Utama BTN. Siapakah Maryono? Bekas Direktur Bank Mandiri pada masa Agus Marto masih menjadi Direktur Utama Bank Mandiri.

Maryono pernah ditugaskan Agus Marto memimpin Bank Century sebagai Direktur Utama pasca diambil alih oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Maryono lalu mengubah Bank Century menjadi Bank Mutiara. Tadinya, Bank Mandiri ingin mengambil alih Bank Century / Mutiara dalam skema akuisisi. Sayangnya, Century menjadi senjata politik sehingga siapapun yang memilikinya akan terjebak dalam ombang-ambing politik.

Gagal mengambil Bank Century / Mutiara, Agus Marto membidik BTN untuk diambil alih oleh Bank Mandiri. Lalu ditempatkanlah Maryono, dari Bank Century / Mutiara menjadi Direktur Utama BTN. Langkah awal kolonisasi, letakkan dulu Gubernur Jenderal di area sasaran, baru rombak dari dalam. Mirip seperti pola Belanda dan Inggris di masa lampau. Bukan seperti Spanyol dan Portugis, caplok dahulu, baru susun pengelolaan baru.

Rupanya, rencana akuisisi Bank Mandiri terhadap BTN mendapat respon negatif dari manajemen lama BTN atau status quo. Lalu merembet pada penolakan karyawan BTN dan asosiasi-asosiasi perumahan. Dan seperti biasa, ketika ada persengketaan, maka jalan keluarnya adalah menjadikan perdebatan di DPR. Kenapa demikian, karena DPR itu ibarat sebuah perkumpulan yang sangat multifaktor, sulit menentukan hasil akhirnya. Tak ada perhitungan yang bisa dipakai untuk memastikan hasil akhir sebuah perdebatan di DPR.

Atas alasan itu pula, biasanya melempar sebuah kasus dalam perdebatan DPR menjadi solusi, karena disana No Master. Apapun bisa terjadi. Kedua belah pihak yang saling bersengketa, menjadi seimbang dalam perdebatan DPR.

Rupanya, rencana akuisisi BTN tidak hanya dilirik Bank Mandiri. BRI juga minat mengambil alih BTN. Ada persaingan, Bank Mandiri versus BRI soal akuisisi BTN. Di satu sisi, Agus Marto atau Bank Mandiri telah menang di satu posisi, menempatkan Maryono sebagai Direktur Utama BTN. BRI kalah posisi. Solusi bagi BRI tentunya, melempar sengketa ini ke DPR.

Membawa perebutan akuisisi BTN oleh BRI tidak diinginkan oleh Bank Mandiri dan Agus Marto. Oleh sebab itu, Agus Marto melobi Menteri BUMN Dahlan Iskan agar memuluskan akuisisi Bank Mandiri ke BTN. Pada 11 April 2014, dikeluarkanlah surat dari Kementerian BUMN yang memuluskan akuisisi Bank Mandiri terhadap BTN. Apa anehnya? Surat dikeluarkan pada saat DPR sedang reses alias kekosongan kekuasaan. Sebuah manuver.

It takes two to Tango. Kabarnya, duet Agus Marto dengan Dahlan Iskan soal BTN ini menjadi upeti kepada SBY dan Partai Demokrat agar Dahlan Iskan bisa menang konvensi Biru. Entahlah bagaimana kebenarannya. Tapi yang jelas, janggal persetujuan Kementerian BUMN soal Bank Mandiri akuisisi BTN dikeluarkan saat DPR reses. Terkesan diam-diam.

Itu contoh salah satu strategi dan taktik menghindari debat kusir di DPR dan politisasi pihak tertentu ketika bersengketa atau berebut sesuatu.

Kembali ke soal skandal pajak BCA. Jelas kelihatan bahwa ini ada motif politik dengan dibukanya kasus ini menjelang Pilpres oleh Abraham Samad dan KPK. Sebab kita semua tahu kalau pemilik BCA, Grup Djarum dan Salim adalah salah satu pendana utama Jokowi sebagai Capres PDIP.

Dan kalau kita lihat dari sisi lain, Abraham Samad sempat mengincar kursi Cawapres Jokowi. Namun hasil pembahasan internal PDIP memutuskan menolak Abraham Samad sebagai Cawapres Jokowi. Apakah dibukanya kasus ini oleh Abraham Samad beberapa hari setelah penolakan Cawapres Jokowi berkaitan? Tanya Abraham Samad.

Namun demikian, seperti saya paparkan tadi, adanya motif politik dalam dibukanya suatu kasus atau skandal, bukan berarti sepenuhnya rekayasa. Kebanyakan, pelanggaran memang ada, kasus memang ada, hanya saja dimainkan timing dibukanya kasus tersebut. Oleh karena itu, saya sangsi kalau ada yang bilang Hadi Purnomo tidak melakukan pelanggaran sama sekali. Atau ada yang sebut, kasus ini murni rekayasa atau konspirasi. Tidak demikian. Mari kita telaah.

Menurut keterangan dari Abraham Samad, pada 12 Juli 2003, BCA mengajukan keberatan ke Direktorat Pajak Penghasilan (PPH) atas pengenaan pajak sebesar Rp 375 miliar pada NPL (Non Performing Loan/kredit macet) sebesar Rp 5,7 triliun.

Direktorat PPH kemudian menelaah pengajuan keberatan BCA itu selama kurang lebih 1 tahun. Hasil putusan Direktorat PPH menolak pengajuan keberatan pajak Rp 375 miliar tersebut. Tiba-tiba, pada 15 Juli 2004, Dirjen Pajak yang menjabat saat itu, Hadi Purnomo, memerintahkan Direktur PPH dalam sebuah nota dinas untuk mengubah putusan penolakan Direktorat PPH atas BCA. Akhirnya, Direktorat Jenderal Pajak putuskan menerima seluruh keberatan BCA untuk membayar pajak tambahan sebesar Rp 375 miliar atas NPL Rp 5,7 triliun.

Perlu dicatat, ketika itu bukan hanya BCA yang ajukan keberatan, bank-bank lain yang berada dalam pengelolaan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) juga mengajukan keberatan yang sama. Namun, hanya BCA yang diterima keberatannya oleh Ditjen Pajak. Bank-bank lainnya ditolak.

Nota Dinas dari Hadi Purnomo itu yang kemudian menjadi bukti KPK untuk menjadikan Hadi Purnomo tersangka dalam skandal pajak BCA Rp 375 miliar. Dan dengan diterimanya keberatan pajak itu, pajak yang harus dibayarkan BCA kepada negara hemat Rp 375 miliar dan mencatat laba bersih tahun 2004 sebesar Rp 3,196 triliun. Apabila keberatan pajak BCA Rp 375 miliar itu ditolak, maka laba bersih BCA tahun 2004 sebesar Rp 2,821 triliun, lebih rendah 12% dari Rp 3,196 triliun.

Penjelasan dari BCA dalam keterangan resminya, pengajuan keberatan dikarenakan perbedaan sudut pandang dalam menilai NPL Rp 5,7 triliun tersebut. Dalam kacamata BCA, angka Rp 5,7 triliun itu adalah transaksi jual beli piutang BCA terhadap BPPN yang dikonversi menjadi saham BCA. Sebagai penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), BCA memiliki utang kepada negara. Di bawah pengelolaan BPPN, BCA membayar utangnya itu dengan saham, sehingga pemerintah melalui BPPN memiliki saham di BCA. Nantinya, BPPN akan menjual sahamnya di BCA agar dana BLBI yang dikucurkan ke BCA kembali ke kas negara. Teorinya begitu, tapi pada praktiknya, dana yang kembali jauh lebih rendah dari yang dikucurkan pemerintah.

Nah, bagi BCA, angka Rp 5,7 triliun itu bukan kredit macet (NPL) tapi pengalihan utang menjadi aset saham kepada pemerintah. Sebaliknya, bagi Ditjen Pajak, angka Rp 5,7 triliun itu adalah bentuk penghapusan utang, sehingga tetap dikenakan pajak sebesar Rp 375 miliar. Dari perdebatan itulah, Hadi Purnomo mendadak mengambil alih dan perintahkan menerima keberatan pajak BCA Rp 375 miliar.

Siapa berbohong disini?

Mari kita simak penjelasan BCA. Menurut BCA, setelah krisis moneter 1998, akhirnya BCA berhasil membukukan laba fiskal sebesar Rp 174 miliar di tahun 1999. Kemudian pada tahun 2002, lanjut BCA, setelah pemeriksaan oleh Ditjen Pajak, angka itu direvisi. Ditjen Pajak memutuskan bahwa laba fiskal BCA pada tahun 1999 adalah sebesar Rp 6,78 triliun. Sulap, dari Rp 174 miliar menjadi Rp 6,78 triliun.

Masih menurut BCA, perubahan itu ada salah satunya karena adanya pengalihan utang kepada pemerintah menjadi saham BCA Rp 5,7 triliun. Karena adanya konversi utang jadi saham BCA untuk pemerintah itu, BCA mencatat laba fiskal tahun 1999 sebesar Rp 6,78 triliun.

Ada kejanggalan dari penjelasan resmi BCA tersebut. Pertama, revisi laba fiskal BCA tahun 1999 dilakukan pada tahun 2002, saat Hadi Purnomo baru saja menjabat Dirjen Pajak (2002 – 2004). Kedua, bukankah konversi utang BCA ke negara menjadi saham itu adalah bentuk pembayaran utang. Lantas kenapa BCA membukukan itu sebagai laba? Seharusnya utang BCA kepada negara dibayar dengan saham, sehingga tidak ada uang masuk dalam kas BCA. Kenapa BCA mencatatkan pengalihan utang jadi saham itu sebagai pemasukan dan keuntungan?

Direktorat PPH sudah benar yang menilai bahwa transaksi pengalihan utang dengan saham senilai Rp 5,7 triliun itu bentuk penghapusan utang, bukan jual beli. Dari sini sudah jelas, BCA berbohong dan memanipulasi laporan keuangan dibantu oleh Hadi Purnomo.

Karena itu pula, KPK menetapkan Hadi Purnomo sebagai Tersangka dalam skandal pajak BCA.

Tak berhenti sampai Hadi Purnomo, KPK mengatakan ada petinggi BCA yang akan diseret dalam kasus ini. Siapakah dia?

Jawabannya adalah Raden Pardede yang menjabat sebagai Komisaris BCA yang akan jadi tersangka berikutnya. Raden Pardede menjabat sebagai Komisaris BCA pada 6 Mei 2004, dua bulan sebelum Hadi Purnomo muluskan keberatan pajak BCA. Ketika ditunjuk jadi Komisaris BCA, Raden Pardede juga menjabat sebagai Staf Khusus Menko Perekonomian (2004 - 2005). Bersamaan juga, Raden Pardede menjabat sebagai Wakil Koordinator Tim Asistensi Menteri Keuangan (2002 - 2004). Belum semua, Raden Pardede juga menjabat sebagai Wakil Direktur Utama PPA (2004 - sekarang).

Bisa bayangkan dong, dengan masuk jadi Komisaris BCA per 6 Mei 2004, Raden Pardede juga jabat beberapa posisi sekaligus. Semalam ada yang meragukan Raden Pardede masuk Komisaris BCA per 6 Mei 2004. Mungkin perlu melihat hasil putusan RUPS (rapat umum pemegang saham) BCA pada 6 Mei 2004. Lihat laporan keuangan BCA tahun 2004 halaman 186.

[caption id="attachment_321133" align="aligncenter" width="658" caption="Sumber : Laporan Keuangan BCA 2004, Halaman 185"][/caption]

[caption id="attachment_321134" align="aligncenter" width="625" caption="Raden Pardede Jadi Komisaris BCA. Sumber : Laporan Keuangan BCA 2004, Halaman 186"]

1398243619201839440
1398243619201839440
[/caption]

Pertanyaannya, kenapa BCA memasukkan Raden Pardede dalam dewan komisaris BCA?

Jawabannya karena BCA mengetahui, Direktorat PPH kemungkinan besar akan menolak pengajuan keberatan pajak Rp 375 miliar yang sedang diajukan ke Ditjen Pajak. Persekongkolan BCA dengan Hadi Purnomo selaku Ditjen Pajak kurang kuat, perlu dukungan dari instansi yang lebih tinggi, Kementerian Keuangan.

Sementara di sisi lain, BPPN akan dibubarkan pada tahun 2004, pada akhir pemerintahan Megawati. Saham milik pemerintah via BPPN atau dalam bahasa Inggrisnya dikenal dengan nama IBRA harus dijual. Seperti skenario awal, utang para obligor BLBI dikonversi menjadi kepemilikan saham pemerintah pada aset-aset obligor BLBI, termasuk BCA. Saham-saham ini berada di bawah BPPN dan akan dikelola selama 5 tahun sejak 1999 hingga 2004. Selama periode 5 tahun itu, BPPN akan melelang saham-saham pemerintah tersebut, agar dana pemerintah yang dikucurkan melalui BLBI kembali.

Begitu pula dengan BCA. Pada tahun 2004, sisa kepemilikan saham pemerintah di BCA sebanyak 618.236.200 lembar saham (5,02%). Apabila hingga pemerintahan habis di 2004 saham ini belum berhasil dijual, maka dialihkan ke Perusahaan Pengelola Aset (PPA). PPA adalah lembaga pengganti BPPN untuk mengelola aset-aset saham pemerintah yang belum berhasil dijual pada masa BPPN.

[caption id="attachment_321135" align="aligncenter" width="641" caption="Daftar Pemegang Saham BCA 2004. Sumber : Laporan Keuangan BCA 2004, Halaman 184"]

13982436781572694737
13982436781572694737
[/caption]

Bukan kebetulan, Raden Pardede juga menjabat di PPA sebagai Wakil Direktur Utama. Raden Pardede juga menjabat di Kementerian Keuangan dan Kementerian Perekonomian pada saat bersamaan. Juga, Raden Pardede ditunjuk sebagai Komisaris BCA pada 6 Mei 2004.

Sudah terlihat kan konektivitasnya. Saham BCA milik pemerintah sebanyak 5,02% akan dialihkan ke PPA karena belum berhasil dijual oleh BPPN. Barang yang akan dijual harus dalam kondisi prima agar harga jualnya tinggi. Kalau harga jual tinggi, pemerintahan baru (SBY) akan dapat pemasukan APBN yang lebih tinggi. Dari sisi BCA, harga jual yang bagus akan meningkatkan nilai perusahaan BCA. Jika suatu saat, Djarum atau Salim sebagai pemilik BCA ingin gadaikan sahamnya untuk menambah modal, dana yang didapat akan lebih tinggi juga.

Untuk keperluan itu, laba BCA harus ditingkatkan dan portofolio kredit macet harus diturunkan, agar nilai jualnya lebih tinggi. Ditemukanlah rumusan solusinya. Laba harus ditingkatkan dengan menekan pembayaran pajak atas NPL (kredit macet). Adalah dengan mengajukan keberatan pajak Rp 375 miliar kepada Ditjen Pajak, dimana Hadi Purnomo sudah pasang badan disana, ditambah bantuan dari Raden Pardede yang menjaga di level Kementerian Keuangan dan Kementerian Perekonomian.

Melalui skenario itu, laba BCA dari yang seharusnya Rp 2,821 triliun jika kena pajak atas NPL Rp 375 miliar, menjadi Rp 3,196 trilun di 2004. Dengan diterimanya keberatan itu, secara otomatis, BCA juga dianggap tidak punya NPL Rp 5,7 triliun. Sederhana, tak ada kredit macet, laba lebih tinggi, nilai perusahaan BCA jadi lebih bagus dong. Harga jual pun tinggi.

Setelah keberatan pajak diterima, kepemilikan saham pemerintah di BCA 5,02% dialihkan ke PPA, di bawah Raden Pardede yang juga komisaris BCA pada tahun 2005. Berapa nilai jual 5,02% saham BCA milik pemerintah yang dikelola PPA saya tidak tahu persis. Berdasarkan data harga saham BCA tahun 2005, berkisar antara Rp 1.400 hingga Rp 1.800 per saham. Dengan jumlah saham pemerintah di BCA sebanyak 618.236.200 lembar saham (5,02%), total nilai jualnya antara Rp 865 miliar hingga Rp 1,113 triliun. Itu kalau dijual pada harga pasar. Umumnya penjualan saham seperti ini dilakukan ada harga premium hingga 30% di atas harga pasar. Kalau mengacu pada itu, nilai jualnya bisa mencapai Rp 1,125 triliun hingga Rp 1,446 triliun.

Apabila, pengajuan keberatan pajak Rp 375 miliar ditolak, maka laba BCA Rp 2,821 triliun, lebih rendah 12% dari Rp 3,196 triliun (jika keberatan diterima). Anggap, perolehan laba linier dengan pergerakan harga saham. Maka asumsinya, jika keberatan pajak ditolak, harga saham BCA akan berada di level Rp 1.200 hingga Rp 1.600. Nilai jual premium 30% nya berkisar Rp 964 miliar hingga Rp 1,285 triliun. Bandingkan dengan harga jual jika keberatan pajak diterima Rp 1,125 triliun hingga Rp 1,446 triliun. Selisihnya sekitar Rp 150 miliar hingga Rp 350 miliar. Itu selisih dari harga jual.

Apabila dihitung dengan penghematan pajak Rp 375 miliar, dengan skenario di atas, maka total nilai lebihnya Rp 525 miliar hingga Rp 725 miliar. Nilai itu terdiri dari penghematan BCA dari pembayaran pajak senilai Rp 375 miliar, sedangkan dari sisi pemerintah mendapat selisih nilai jual antara Rp 150 miliar hingga Rp 350 miliar.

Dari sini sudah jelas bukan apa saja keuntungan yang diperoleh BCA melalui kerjasama dengan duet Raden Pardede dan Hadi Purnomo ini?

Keuntungan yang diterima BCA maupun pemerintah dengan memuluskan keberatan pajak BCA Rp 375 miliar itu belum memperhitungkan kemungkinan celah lainnya. Dalam peraturan pasar modal Indonesia, hanya kepemilikan saham di atas 5% saja yang wajib dipublikasi. Kepemilikan saham di bawah 5% dilindungi oleh kerahasiaan nasabah pasar modal.

Kepemilikan saham pemerintah di BCA sebesar 5,02%, maka itu tercantum dalam laporan keuagan BCA hingga 2004. Namun kepemilikan saham BCA oleh pemerintah tidak terlihat lagi pada tahun 2005. Katanya karena sudah dijual semua.

[caption id="attachment_321136" align="aligncenter" width="693" caption="Daftar Pemegang Saham BCA 2005. Sumber : Laporan Keuangan BCA 2005. Halaman 170"]

1398243753620982803
1398243753620982803
[/caption]

Apa betul sudah dijual? Bagaimana jika skenarionya seperti ini : PPA melelang 5,02% saham BCA itu kepada Investor A. Lalu Investor A menjual 1,02% sahamnya ke pasar modal, sehingga tersisa 4% saham BCA di tangan investor A. Dengan skema ini, maka kepemilikan 4% saham BCA oleh investor A tidak akan bisa diketahui oleh publik.

Nah, bagaimana jika investor A itu ternyata adalah perusahaan bersama antara Raden Pardede, Hadi Purnomo dengan petinggi BCA? Atau malah melibatkan kapal-kapal gelap dari pemerintahan?

Jika ini yang terjadi, maka ada 2 keuntungan yang diperoleh dari kepemilikan 4% saham BCA oleh kapal gelap tersebut. Pertama, keuntungan dari kenaikan harga saham BCA. Kedua, dividen yang diterima investor A sejak tahun 2005 hingga 2014.

Jika harga saham BCA di tahun 2005 sebesar Rp 1.400 per saham, kini ada di harga Rp 11.000 per saham. Anggap investor A menyisakan kepemilikannya sebesar 4% atau 500 juta lembar saham BCA, maka nilai aset saham investor A selama 10 tahun naik dari Rp 700 miliar menjadi Rp 5,5 triliun. Asetnya naik Rp 4,8 triliun. Anggap BCA setiap tahun rutin membagikan dividen Rp 100 per saham, artinya Rp 1.000 per saham selama 10 tahun. Investor A alias kapal gelar itu, rutin menerima Rp 50 miliar setiap tahun atau total Rp 500 miliar selama 10 tahun.

Itu berarti, total keuntungan investor A atau kapal gelap tersebut mencapai Rp 5,3 triliun dalam 10 tahun (Rp 4,8 triliun + Rp 500 miliar).

Ini perlu ditelusuri dan dibuktikan. Saya rasa kalau memang niatnya mencegah terjadinya celah-celah seperti ini, maka dalam setiap transaksi pemerintah di pasar modal harus ditelusuri sampai sedalam-dalamnya. Jika tidak, maka celah-celah seperti banyak sekali dan mudah sekali untuk dilakukan.

Pertanyaan lanjutannya, apa motif dari dilancarkannya kasus ini menjelang Pilpres 2014?

Seperti saya bilang tadi, Grup Djarum dan Salim adalah donatur Jokowi, sehingga wajar menduga ada motif menghajar sumber pendanaan Jokowi. Lalu, duet Raden Pardede dan Hadi Purnomo terjadi pada akhir pemerintahan Megawati, tentu PDIP juga menjadi sasaran. Raden Pardede juga pernah menjabat sebagai Sekretaris KKSK yang berarti ada motif kasus Century juga dalam kasus pajak BCA ini.

Tentu saja, salah satu senjata utama Kuning dan Merah untuk menghajar Biru, umumnya memakai kasus Century. Tapi itu dulu, ketika Biru masih berkuasa dimana kompetitornya adalah Kuning dan Merah menyerang dengan Biru dengan Century. Kini, peta berubah. Merah ada di atas, yang sudah pasti menjadi musuh bersama antara Biru dan Kuning. Century, yang memang menjadi kasus populer di khalayak umum, bagaimana caranya agar bisa dipakai untuk menyerang Merah.

"Merah harus diserang," pikir Biru (dan Kuning). "Kalau bisa pakai Century, senjata makan tuan dong".

Bukan kebetulan, Raden Pardede menjadi dalang kasus pajak BCA, dimana terjadi pada masa pemerintahan Megawati dan terlibat Century.

Kasus pajak BCA (Grup Djarum dan Salim) untuk menghantam pendana di belakang Jokowi. Transaksi kasus pajak BCA terjadi pada masa pemerintahan Megawati untuk menghajar Megawati dan PDIP. Raden Pardede di Century untuk menggeser senjata utama lawan menyerang Biru, berbalik untuk menyerang Merah.

Melihat 3 indikator tersebut, saya amat yakin ada peran Biru di belakang kasus pajak BCA. Lantas kemana Kuning berpijak?

Kuning tentu akan melihat kenyataan bahwa Merah kini musuh bersama, Biru mungkin bisa jadi teman baik. Apalagi, Hadi Purnomo dijadikan Tersangka. Hadi Purnomo cukup dekat dengan keluarga Bakrie, khususnya Ical / ARB. Banyak yang tidak tahu, orang banyak sebut Hadi Purnomo pemilik dana Tunai (dalam arti harfiah) terbanyak di Indonesia.

Banyak politisi yang perlu dana serangan fajar untuk Pemilu, Rapimnas, Munas dan sebagainya, pakai fasilitas pinjaman tunai dari Hadi Purnomo. Mengingat kedekatan hubungan Hadi Purnomo dengan Ical / ARB, kemungkinan besar Biru mengancam Kuning : "Join the Cartel or Die?"

Tentu ini saat krusial bagi Kuning. Apabila menolak ajakan Biru hajar kasus BCA dan Century ke Merah, kasus Hadi Purnomo akan diteruskan. Apabila menerima ajakan itu, artinya Koalisi Biru dan Kuning di Pilpres 2014 dan kasus Hadi Purnomo akan dihentikan.

Caranya bagaimana? Hadi Purnomo cuma disuruh oleh Raden Pardede di kasus BCA. Otaknya diarahkan pada Raden Pardede. Exit Strategy.

Lalu, apabila Kuning menerima tawaran Koalisi dengan Biru, siapa kah cawapresnya Ical / ARB? Dahlan Iskan atau Gita Wirjawan?

Mengingat baru-baru ini ada upeti Dahlan Iskan kepada SBY melalui pemulusan akuisisi BTN oleh Bank Mandiri, boleh jadi Dahlan Iskan.

Jika benar : Duet Ical dan Dahlan Iskan. Ada yang mau pilih? :)

Sekian dulu ulasan saya kali ini. Simak kelanjutannya.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun