Tahun 2022, tahun di mana melihat anak usia belasan tahun, telah memiliki aset ratusan juta bahkan milyaran bukan lagi hal baru. Hadirnya social media membuat penggunanya jadi mudah mengetahui gaya hidup orang lain, sekaligus menyaksikan betapa mudahnya sebagian dari mereka membeli dan merenovasi rumah setiap tahun, atau pun memakai outfit yang harganya setara dengan satu kali panen untuk petani.
Salah satu Podcats Raymond Chin di youtube, yang mana dalam kontennya sering mewancarai anak Gen Z yang sukses, berhasil membangun insecurity saya dan terkadang jadi bertanya juga "Apakah saya segagal itu, usia lebih tua dari mereka tetapi masih begini-begini saja" hahah.Â
Saat ini mudah sekali melihat aktivitas orang di social media, konten memamerkan harta ada di mana-mana, bahkan tidak sedikit yang memakai cara ini untuk semakin menaikkan popularitas dan eksistensi diri. Efek sosial dari konten sejenis ini adalah makin mudahnya orang membandingkan dirinya dengan orang yang dia saksikan di layar kaca. Bahkan di kolom komentar banyak anak remaja yang mengaku sudah khawatir akan masa depan, karena mereka mempatokan diri dengan anak privilege yang telah sukses di usia sangat mudah, atau golongan orang dewasa yang merasa semakin tidak berarti karena menyaksikan anak-anak yang lebih mudah darinya jauh lebih sukses.
Sebenarnya ini tidak salah, cukup bagus jika konten tersebut melahirkan motivasi, dan semangat bagi orang lain  yang belum mencapai cita-citanya, tetapi jelas dampak negatifnya juga ada, selain timbulnya kegiatan  membandingkan diri, juga banyak yang berpikir, seakan-akan pencapaian itu adalah hal instan.
Terlepas dari urusan membandingkan hidup di atas, saya jadi merenung betapa enaknya menjadi orang dulu, manusia yang pernah hidup di zaman pra-digital. Terlepas dari kekurangannya, tetapi bisa saya simpulkan bahwa hidup cukup tenang dulu tanpa social media. Kenapa tenang? karena kita tidak punya banyak referensi untuk membandingkan kehidupan kita, mentok-mentok membandingkan dengan tetangga dan keluarga saja. Â
Saya ingat sekali dulu waktu masa sekolah di kampung, definisi orang kaya di kepala saya hanya seperti Pak Haji I yang rumahnya sangat berdekatan dengan rumah saya. Sukses di kepala saya sebatas punya mobil dan Handphone. Pakaian termahal yang saya tahu cuma celana jeans yang di jual di pasar yang harganya kurang dari 200rb. Dengan segala kekurangan finansial keluarga saya, saya masih tidak menyebut bahwa saya semiskin itu, karena hidup dalam keterbatasan sudah jadi budaya di kampung dan saya anggap itu biasa saja, saya pikir dulu memang begitulah sebenarnya hidup. Ketidaktahuan saya akan standar hidup yang tinggi membuat saya dan orang-orang di kampung cukup mudah bersyukur akan hal-hal yang dipandang sederhana oleh sultan, tetapi bagi kami itu kemewahan, karena memang seperti itulah standar maksimal kita akan mewah. Itulah hikmahnya menjadi tidak tahu, tidak ada aktivitas membandingkan yang berpotensi membuat kita merasa lebih buruk dari yang lain.
Tetapi coba sekarang, setelah menggunakan social media dan internet, saya sampai tahu bahwa ada manusia kekayaannya mencapai  28,1 triliun yaitu Elon Musk dan berbagai jajaran crazy rich lainnya, saya mulai gelisah akan status sosial dan kekurangan saya, ketika tahu bahwa di Indonesia saja ada sultan yang sebegitu kayanya, saya kaget ketika sadar ternyata di kota punya mobil belum tentu dianggap kaya. hahah
Makin banyak perbandingan, makin susah kita mendapat ketenangan, karena secara tidak langsung kita akan punya pembanding dalam hidup, meskipun hal ini bisa diselesaikan dengan pola pikir tetapi yah begitulah. Kekawatiran saya lebih tertuju pada anak remaja yang seharunya fokus belajar dan mencintai diri dan kekurangannya malah terserang insecurity, karena belum punya kendali bagaimana mengontrol informasi dan mengelolah emosi. Timbul perasaan tidak berguna, merasa gagal padahal di usia remaja memang belum kewajibannya meresahkan dana darurat, dana pensiun dan dana investasi lainnya. Hahah