Salah satu masalah yang utama dengan adanya kasus COVIID ini adalah masalah percaya dan tidak percaya. Tidak samanya keyakinan seseorang dalam melihat fenomena COVID-19 akhirnya mengakibatkan perbedaan respon di tiap orang atau kelompok. Bagi yang percaya Covid geram melihat perkumpulan, melihat orang acuh terhadap protokol kesehatan akhirnya menyerang dengan kalimat “egois, bodoh dan umpatan lain”. Kita semua paham akar dari kekesalan itu yaitu siapa yang tidak marah, dengan sangat nyata didata pemerintah menunjukkan angka korban kematian yang tidak sedikit, tetapi beberapa pihak malah terlihat acuh akan itu? Lalu benarkah mereka patut disalahkan?
Mari kita mencoba melihat dari perspektiv yang tidak percaya..
Beberapa obrolan saya dengan pihak yang tidak percaya akan kehadiran covid, saya yakin mereka bukan mahluk yang tidak berempati, mendukung sikap-sikap yang salah, dan sifat egois lain. Masalahnya adalah mereka hanya tidak percaya. Jadi bagaimana seseroang mau taat protokol kesehatan kalau dalam dirinya tidak ada kepercayaan. Lalu dengan ketidakpercayaan itu apakah mereka layak dikatakan bodoh? Konteknya disini adalah mereka bukan tidak percaya covid tetapi tidak percaya kematian itu diakitbatkan oleh Covid. Ada banyak hipotesis yang muncul terkait fenomena ini seperti kematian pada kasus ini sebenrnya ulah oknum , pelayanan yang tidak baik yang menyebabkan pasien makin parah, atau covid adalah virus mematikan dll. Kita belum tau pasti mana hipotesis yan paling benar karena semua hipotesis tersebut juga berangkat dari landasan-landasan yang kuat
Jadi selama kita tidak dalam satu kepercayaan melihat fenomena kovid-19 maka selamanya pula kasus ini akan terus berlanjut.
Oh iya katanya tuulisan yang baik adalah tulisan yang tidak hanya menyampaikan opini, tetapi juga menyampaikan solusi. Lalu apa solusi dari perbedaan keyakinan ini?
Kalau saya sendiri yah saling mengargai dan dipisah ruang geraknya. Ini hanya solusi sih, dan mungkin terdengar aneh dan bisa juga dijadika bahn eksperimen. Jadi, Kita bisa membuat dua kehidupan, memisahkan ruang gerak yang percaya dan tidak percaya. Yang percaya hanya boleh mengunjungi wilayah-wilayah tertentu dan tidak boleh berinteraksi dengan yang percaya. Begitupun bagi yang percaya mengisolasi diri. Jika ada defek yang diterima bagi yang tidak percaya biarlah mereka menanggung sendiri tanpa bantuan medis. Sedangkan bagi yang ercaya mereka bisa ke rumah sakit mengontrol diri tiap saat. Dari pemisahan ruang gerak ini, kita bisa melihat pihak mana yang angka kematian tidak normalnya paling tinggi. Tidak normal maksudnya kematian yang tiba-tiba dengan gejala kovid. Solusinya agak aneh tapi gue rasa bisa menajdi solusi agar tidak saling menyalahhkan antara pihak percaya dan tidak. wkwk