Mohon tunggu...
Randy Alvianto
Randy Alvianto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa yang sedang dalam proses belajar.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kondisi Sosial Masyarakat Arab Pra-Islam

12 Februari 2023   22:23 Diperbarui: 4 Juni 2023   21:05 2704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gambar : PEXELS

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam seringkali disebut dengan masyarakat Arab Jahiliyah. Kata jahiliyah ini dapat diartikan sebagai "zaman ketidaktahuan" atau "zaman kebodohan". Istilah jahiliyah ini juga sering digunakan oleh para ulama dan cendekiawan Islam untuk mengkritik apa yang mereka lihat sebagai sifat tidak Islam dari kehidupan sosial dan pribadi masyarakat Arab pada masa itu. Hal ini dikarenakan masyarakat Arab pada masa itu telah jauh sekali berpaling dari agama yang dibawa oleh leluhur mereka, yaitu Nabi Ibrahim AS. Sekalipun mereka mengatakan bahwa mereka masih berada pada agama Ibrahim AS yang lurus, nyatanya mereka telah melanggar ketentuan-ketentuan dalam syariat yang telah dibawa oleh Nabi Ibrahim AS dan anaknya, Nabi Ismail AS. Mereka terjerumus dalam penyembahan-penyembahan terhadap berhala yang mereka buat sendiri dan meninggalkan ketauhidan terhadap Allah SWT. 

Jazirah Arab sendiri secara geografi terbagi menjadi dua bagian dataran, yaitu dataran tandus atau gersang dan dataran subur. Dataran yang tandus atau gersang ini mencakup wilayah Arab bagian tengah. Masyarakat yang hidup di wilayah ini biasanya beripindah-pindah (nomaden) untuk mencari wilayah yang lebih subur. Kabilah-kabilah yang hidup di wilayah gersang ini cenderung memiliki watak yang lebih keras dan kejam. Hal ini dikarenakan pengaruh kondisi geografi yang menuntut mereka berubah menjadi orang-orang yang suka berperang demi memperebutkan daerah yang lebih subur sebagai tempat tinggal kabilah-kabilah mereka. Kabilah-kabilah yang sering hidup di daerah gersang ini adalah kaum Badui. Kondisi geografi yang gersang ini juga menjadikan kaum Badui sebagai orang-orang yang berani dan kuat. Mereka juga mempunyai keteguhan jiwa dan mempunyai prinsip kebebasan yang sangat besar serta kesetiaan terhadap kabilah.Kewibawaan laki-laki (muru'ah) juga dipandang sebagai nilai kekabilahan yang tinggi. Selain itu, terlepas dari pandangan negatif terhadap mereka. Kaum Badui juga mempunyai beberapa keistimewaan, di antaranya adalah kemurnian terhadap nasab mereka. Hal ini karena mereka hidup di daerah yang tandus dan terisolasi, sehingga jarang sekali terjadi kontak sosial dengan orang-orang asing. Akibat dari jarangnya kontak sosial yang mereka lakukan, bahasa Arab yang mereka miliki juga masih terjaga kemurniannya. Terlepas bahwa mereka jarang sekali melakukan kontak sosial dengan orang asing, kaum Badui justru memiliki sisi pergaulan sosial yang baik dan ramah-tamah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun, bahwa orang Badui lebih mudah menjadi baik ketimbang penduduk yang menetap (negeri). Mereka juga dikenal sebagai kaum yang sering menepati janji, hal ini dikarenakan bagi orang-orang Badui perbuatan dusta adalah perbuatan yang hina. 

Selain dataran yang tandus dan gersang, di Jazirah Arab juga terdapat daerah-daerah yang subur. Daerah-daerah ini mencakup Jazirah Arab pinggiran atau di beberapa bagian Selatan. Kota-kota yang termasuk daerah ini antara lain Bahrain, Oman, Mahrah, Hadramaut, Yaman, dan Hijaz. Penduduk di daerah ini juga seringkali disebut sebagai penduduk negeri, karena mereka telah hidup secara menetap dan kebutuhan mereka sudah dapat dicukupi. Mereka juga sudah membentuk suatu intitusi baik itu kota atau kerajaan dan telah membuat kebudayaan. Penduduk negeri ini sering melakukan interaksi sosial, politik, ekonomi, dan budaya dengan bangsa luar untuk memperluas jaringan dan kerja sama bilateral mereka. Akibat dari hal ini, pelabuhan-pelabuhan yang mereka miliki menjadi ramai dan kota-kota mereka dijadikan sebagai kota persinggahan serta jual beli para pedagang dari luar. Akibat dari hal ini, kehidupan mereka lebih stabil dan mapan ketimbang kaum Badui. Akan tetapi, yang harus digaris bawahi adalah karena kehidupan mereka yang serba berkecukupan ini menyebabkan penduduk negeri lebih lemah dan mudah terjerumus ke dalam nafsu syahwat keduniawian. Selain itu, karena seringnya terjadi kontak sosial dengan orang asing. Dapat dipastikan terjadinya akulturasi ataupun asimilasi terhadap budaya mereka. Hal ini berakibat pada perubahan bahasa, budaya, perilaku sosial, dan keturunan penduduk negeri yang sudah dapat dikatakan tidak murni lagi. 

Baik itu penduduk di wilayah gersang ataupun di wilayah subur. Semangat solidaritas sosial atau ikatan kekerabatan antar kabilah masih sering diterapkan, sebagaimana ciri khas dari bangsa Arab. Ashabiyah adalah rasa cinta seseorang terhadap kabilah atau keluarga sedarahnya, yang kemudian menimbulkan sifat alami yaitu saling tolong menolong dalam suka maupun duka untuk menjunjung tinggi kemuliaan. Solidaritas antar kabilah ini kemudian berkembang menjadi fantisme buta yang kerap kali menjadi penyebab terjadinya konflik atau peperangan. Mereka akan membela kerabatnya secara mati-matian demi kehormatan kabilah mereka. Mereka menjalani kehidupan menurut sebuah pepatah yang berbunyi, "Tolonglah saudaramu, yang berbuat zhalim maupun yang dizhalimi," dengan pengertian apa adanya tanpa menyelaraskan dengan ajaran yang dibawa oleh Islam, bahwa makna menolong orang yang berbuat zhalim adalah dengan menghentikan kezhalimannya. 

Selain itu, kehidupan sosial masyarakat Arab Jahiliyah secara umum atau penduduk Mekah secara khusus pada masa sebelum Islam datang berada pada kehidupan sosial yang tidak pantas karena tidak memiliki aturan yang sesuai. Akhlak mereka sangat rendah dan tidak mempunyai sifat-sifat kemanusiaan serta sebagainya. Di kalangan bangsa Arab Jahiliyah terdapat beberapa kelas masyarakat, yang kondisinya berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Hubungan seseorang dengan keluarga di kalangan bangsawan sangat diprioritaskan, dihormati, dan dijaga, sekalipun harus dengan pedang yang terhunus dan darah yang tertumpah. Bagi kalangan bangsawan, jika seseorang ingin dipuji dan terpandang di kalangan bangsa Arab karena kemuliaan dan keberaniannya. Maka ia harus menjadi bahan perbincangan kaum wanita. Selain itu, seorang wanita di kalangan bangsawan dapat mengumpulkan beberapa kabilah untuk suatu perdamaian, dan juga sebaliknya. Ia dapat menyulut api peperangan antar kabilah jika ia menghendaki. Akan tetapi, seorang laki-laki tetap dianggap sebagai pemimpin di tengah keluarga, yang perkataanya tidak boleh dibantah dan harus dituruti. Hubungan wanita dengan seorang laki-laki harus melalui persetujuan wali wanita, dan seorang wanita tidak bisa menentukan pilihannya sendiri. Itu adalah gambaran secara ringkas terhadap kehidupan bangsawan, sedangkan kelas masyarakat lainnya beraneka ragam. 

Perzinahan juga merupakan hal yang lumrah dan mewarnai setiap lapisan masyarakat Arab Jahiliyah, tidak hanya terjadi di lapisan tertentu ataupun golongan tertentu, kecuali hanya sebagian kecil dari mereka yang masih memiliki keagungan jiwa serta moral yang dimana mereka tidak mau terjerumus dalam kehinaan ini. Menurut persepsi umum semasa Jahiliyah, perzinahan bukanlah sebuah aib yang dapat mengotori keturunan. Selain itu, perkawinan pada masa Jahiliyah sangat tidak bermoral dan tidak teratur. Diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah, bahwa pernikahan pada masa Jahiliyah terbagi menjadi empat macam :

  • Pertama adalah pernikahan secara spontan. Seorang laki-laki mengajukan lamaran kepada laki-laki lain yang menjadi wali wanita, lalu dia bisa menikahinya setelah menyerahkan mas kawin seketika itu pula.
  • Kedua, seorang laki-laki bisa berkata kepada istrinya yang baru saja suci dari haid untuk menemui seorang laki-laki dan "berhubungan" dengan laki-laki tersebut. Suami itu akan berkata, "Temuilah si Fulan dan'berhubunganlah' dengannya!". Suami tersebut tidak akan "berhubungan" dan sama sekali tidak menyentuh istrinya hingga ada kejelasan bahwa istrinya tersebut hamil dari laki-laki yang disuruh"berhubungan" dengannya. Jika sudah jelas akan kehamilan istrinya, maka suami dapat mengambil kembali istrinya jika ia memang menghendaki hal itu. Hal ini dilakukan dengan alasan agar ia memiliki keturunan yang baik dan pintar atau dapat juga disebut sebagai upaya untuk memperbaiki keturunan. Pernikahan semacam ini disebut nikah istibdha'.
  • Ketiga, seorang wanita dapat memiliki beberapa orang suami atau yang biasa disebut poliandri. Bentuk dari pernikahan ini ialah beberapa orang laki-laki yang jumlahnya tidak mencapai sepuluh orang, yang semuanya tersebut "berhubungan" dengan seorang wanita. Setelah wanita itu hamil dan melahirkan bayinya, maka selang beberapa hari wanita itu akan mengundang seluruh laki-laki yang "berhubungan" dengannya. Lalu wanita tersebut menunjuk salah satu diantara laki-laki tersebut yang ia sukai sebagai ayah dari anaknya. Lalu laki-laki tersebut dapat menjadi ayah si anak.
  • Keempat, sekian banyak laki-laki dapat mendatangi seorang wanita yang biasa disebut pelacur. Biasanya mereka memasang bendera khusus di depan pintunya sebagai tanda. Jika wanita pelacur ini hamil lalu melahirkan anak. Maka ia bisa mengundang semua laki-laki yang pernah "berhubungan" dengan dirinya. Setelah semua laki-laki tersebut berkumpul, maka diselenggarakan sebuah undian. Siapa yang namanya keluar, maka ia yang berhak menjadi ayah dari anak tersebut dan ia tidak bisa menolak akan hal itu.

Selain beberapa macam bentuk pernikahan di atas, poligami juga sudah menjadi hal yang lumrah di kalangan Arab Jahiliyah. Seorang laki-laki kerap kali berpoligami dan memiliki istri tanpa adanya batasan maksimal, berapa banyakpun istri yang ia kehendaki. Bahkan mereka bisa menikahi dua wanita yang bersaudara. Mereka juga bisa menikahi janda dari bapaknya, baik itu karena dicerai atau karena ditinggal mati. Hak perceraian pun ada di tangan kaum laki-laki. 

Perbudakan juga merajalela pada masa Jahiliyah. Budak kerap kali diperlakukan majikannya jauh dari kata manusiawi. Mereka tidak menerima kebebasan layaknya manusia merdeka. Mereka tidak segan untuk menyiksa dan memperlakukan para budak seperti hewan ataupun barang dagangan yang dijual atau dibunuh. Para wanita kerap kali menempati kedudukan yang sangat rendah dan dipandang sebagai hewan peliharaan bahkan lebih hina dari itu. Ada pula beberapa suku yang memiliki kebiasaan yang sangat buruk, mereka kerap kali mengubur hidup-hidup putrinya karena takut aib dan kemunafikan. Mereka merasa terhina karena mempunyai anak seorang perempuan. Muka mereka akan memerah jika mendengar istri mereka melahirkan anak seorang perempuan. Mereka beranggapan bahwa anak perempuan akan membawa kemiskinan, kesengsaraan, serta kehinaan. Tidak hanya itu, anak laki-laki juga kerap kali dibunuh lantaran takut akan kemiskinan dan kelaparan. Akan tetapi hal ini tidak dianggap sebagai kebiasaan karena bagaimanapun juga mereka masih membutuhkan anak laki-laki untuk membentengi diri dari serangan musuh.

Masih banyak lagi perilaku bangsa Arab Jahiliyah yang sangat buruk seperti meminum minuman keras (khamr), senang berjudi, mengadu nasib dengan anak panah, mendatangi dukun, dan lain sebagainya yang dirasa akan terlalu panjang jika dibahas semuanya. Islam yang kemudian hari datang dan berhasil merubah seluruh perilaku yang buruk dan tidak bermoral serta kedudukan bangsa Arab yang sebelumnya Jahiliyah dan terbelakang menjadi salah satu bangsa yang berhasil memimpin umat ini menuju kejayaan merupakan salah satu mukjizat yang Allah SWT berikan kepada umat manusia. Wallahu a'lam.

REFERENSI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun