Mohon tunggu...
Wiselovehope aka Poetvocator
Wiselovehope aka Poetvocator Mohon Tunggu... Novelis - Desainer Komvis dan Penulis Lepas. Unik, orisinal, menulis dari hati.

aka Julianti D. ~ Instagram: @wiselovehope Https://linktr.ee/wiselovehope Https://pimedia.id/wiselovehope Email: wiselovehope@gmail.com Akun Opinia: Julianti Dewi (Wiselovehope) Akun Tiktok: juliantiwiselovehope Akun X:@wiselovehope Akun Threads: @wiselovehope

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Deretan Piala di Ruang Tamu Viktoria

21 Desember 2020   14:35 Diperbarui: 21 Desember 2020   15:53 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
By @_random_wisdom_

Langganan naik podium.

Sebut saja namanya Viktoria, anak SD kelas tiga seumuran anak saya. Tapi ini bukan tentang dia, melainkan orangtuanya. Anak saya sekelas anaknya sejak TK. Hanya saja saya tak begitu kenal pada orangtuanya, hanya tahu dari grup WA.

Orangtua Viktoria dari dulu hobi koleksi piala. Bangganya pada anak, luar biasa. Dari TK, ada saja kejuaraan atau lomba yang dimenangkannya. Mulai dari lomba fashion show, lomba nyanyi, hingga lomba busana Tahun Baru Imlek.

Deretan Piala yang dipajang di rumahnya selalu silau berkilau. Dipernis kinclong biar bling-bling menyapa tamu seakan minta dikomentari dan dipuji. "Wah, anaknya hebat ya Bu, juara melulu!"

Selain Viktoria, ada banyak anak lain yang orangtuanya memang hobi menjadikan anak "pendulang piala." Sengaja dandan cakep di salon ala pengantin, biar menang lomba Fashion Show Hari Kartini. Biaya sewa baju tradisional dan make-up bisa sampai dua ratus ribu Rupiah. Gapapa, demi sebuah piala. Alasannya sederhana, buat kenang-kenangan sampai tua.

Bila tidak menang, bisa mencak-mencak. Sudah susah-payah, biaya tak murah, kok kalah.

Anak-anak saya walau pernah menang lomba atau juara kelas, tidak sengaja 'digenjot' seperti itu. Mereka menang atau tidak menang, dapat piala atau tidak dapat piala, kami sebagai orangtua tak ingin memaksa mereka. Kami tetap bangga walau mereka tak dapat juara. Prestasi sudah seharusnya diukir secara alami, bukan diukur dari banyaknya piala dan medali.

Piala juga bukannya gratis murni. Urunan dari uang kegiatan sekolah. Jadi, dalam kata lain, 'dibeli' sekolah untuk diberikan kembali kepada orangtua atau murid yang menang lomba. Kita yang tak berhasil menang, membelikan yang menang? Mungkin begitu logikanya ya?

Jadi, masih perlukah kita bangga dengan piala, yang sejatinya bisa dipesan atau dibeli dengan harga 80 Ribu Rupiah saja?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun