Langganan naik podium.
Sebut saja namanya Viktoria, anak SD kelas tiga seumuran anak saya. Tapi ini bukan tentang dia, melainkan orangtuanya. Anak saya sekelas anaknya sejak TK. Hanya saja saya tak begitu kenal pada orangtuanya, hanya tahu dari grup WA.
Orangtua Viktoria dari dulu hobi koleksi piala. Bangganya pada anak, luar biasa. Dari TK, ada saja kejuaraan atau lomba yang dimenangkannya. Mulai dari lomba fashion show, lomba nyanyi, hingga lomba busana Tahun Baru Imlek.
Deretan Piala yang dipajang di rumahnya selalu silau berkilau. Dipernis kinclong biar bling-bling menyapa tamu seakan minta dikomentari dan dipuji. "Wah, anaknya hebat ya Bu, juara melulu!"
Selain Viktoria, ada banyak anak lain yang orangtuanya memang hobi menjadikan anak "pendulang piala." Sengaja dandan cakep di salon ala pengantin, biar menang lomba Fashion Show Hari Kartini. Biaya sewa baju tradisional dan make-up bisa sampai dua ratus ribu Rupiah. Gapapa, demi sebuah piala. Alasannya sederhana, buat kenang-kenangan sampai tua.
Bila tidak menang, bisa mencak-mencak. Sudah susah-payah, biaya tak murah, kok kalah.
Anak-anak saya walau pernah menang lomba atau juara kelas, tidak sengaja 'digenjot' seperti itu. Mereka menang atau tidak menang, dapat piala atau tidak dapat piala, kami sebagai orangtua tak ingin memaksa mereka. Kami tetap bangga walau mereka tak dapat juara. Prestasi sudah seharusnya diukir secara alami, bukan diukur dari banyaknya piala dan medali.
Piala juga bukannya gratis murni. Urunan dari uang kegiatan sekolah. Jadi, dalam kata lain, 'dibeli' sekolah untuk diberikan kembali kepada orangtua atau murid yang menang lomba. Kita yang tak berhasil menang, membelikan yang menang? Mungkin begitu logikanya ya?
Jadi, masih perlukah kita bangga dengan piala, yang sejatinya bisa dipesan atau dibeli dengan harga 80 Ribu Rupiah saja?