Mohon tunggu...
Ramlan Effendi
Ramlan Effendi Mohon Tunggu... Guru yang belajar menulis

berbagi dan mencari ilmu

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Cobra Effect Pendidikan, Niat Mulia Vs Komedi Realita

3 Oktober 2025   07:50 Diperbarui: 2 Oktober 2025   20:28 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Niat Mulia Vs Komedi Realita

Kalau ada yang paling jago bikin niat baik berubah jadi bahan ketawa di warung kopi, jawabannya bukan pelawak, tapi dunia pendidikan kita. Semua berangkat dari keinginan mulia: anak-anak pintar, guru profesional, sekolah maju. Tapi di tengah jalan, niat itu sering nyasar, lalu jatuh terjerembab ke jurang yang namanya Cobra Effect.

Apa itu Cobra Effect? Itu loh, efek kobra yang lahir dari kisah klasik kolonial Inggris di India. Karena takut ular kobra, pemerintah bikin program: siapa bawa bangkai kobra, dapat hadiah. Awalnya sukses, kobra makin sedikit. Eh, rakyat India lebih kreatif dari penjajahnya. Mereka beternak kobra! Begitu program dihentikan, para peternak melepas semua kobra, dan populasi ular justru meledak. Jadi, yang awalnya mau memberantas kobra, malah bikin festival kobra.

Nah, kalau Anda kira Cobra Effect hanya milik India zaman kolonial, coba tengok sekolah-sekolah kita. Cobra Effect nongol setiap hari, lengkap dengan gaya komedi khas Nusantara.

Dulu, pemerintah bikin Ujian Nasional dengan niat luhur: agar mutu pendidikan punya standar. Bagus kan? Di atas kertas, iya. Tapi di lapangan, sekolah jadi pabrik kebocoran. Guru sibuk mencari cara supaya siswanya dapat bocoran, siswa latihan menyontek dengan koordinasi rapi seperti tim sepak bola, bahkan ada sekolah yang menyiapkan "kelas khusus" untuk siswa yang nilainya dipoles. Hasilnya? Nilai UN bagus, ranking naik, laporan ke dinas mulus. Tapi otak siswa? Tetap kering. Cobra Effect pun tertawa terbahak-bahak di depan ruang kelas.

Kemudian lahirlah program literasi. Setiap pagi, anak wajib membaca 15 menit sebelum pelajaran. Bagus, niatnya menumbuhkan budaya baca. Tapi apa yang terjadi? Anak-anak membuka buku sambil melamun, menatap huruf tapi yang masuk justru rencana main bola sore. Ada yang fotokopi halaman depan buku lalu ditunjukkan ke guru sebagai bukti membaca. Guru mencatat di laporan: "program literasi terlaksana 100%." Perpustakaan sepi, buku tetap berdebu, hanya laporan kegiatan yang kinclong. Cobra Effect tersenyum, sambil berkata: "Membaca itu penting, asal jangan benar-benar membaca."

Banyak orang tua mengeluh, anak kurang belajar di rumah. Solusinya? Guru memberi PR segudang. Tapi apa hasilnya? PR dikerjakan orang tua, kakak, bahkan tetangga. Ada jasa ketikan online yang siap membantu dengan tarif murah. Anak-anak makin benci belajar, karena PR identik dengan beban, bukan proses. Jadi yang rajin belajar siapa? Bukan anaknya, tapi keluarganya. Lalu ada asumsi: "Pendidikan sukses". Sukses cap opo?

Pendidikan agama di sekolah juga tak luput dari Cobra Effect. Anak-anak diwajibkan menghafal ayat, doa, dan hadis. Niatnya membentuk akhlak mulia. Tapi kenyataannya: anak hafal teks panjang, tapi tidak tahu makna. Bisa melafalkan doa dengan fasih, tapi masih mencontek saat ulangan. Kita pun melahirkan generasi "pintar bicara, miskin perilaku." Cobra Effect bergumam: "Yang penting hafal, urusan akhlak belakangan."

Ada lagi program bagus, ntuk meningkatkan mutu guru, ada program PPG (Pendidikan Profesi Guru). Konsepnya keren: guru belajar ulang agar lebih profesional. Agar dapat memfasilitasi guru sesuai perintah undang-undang pendidikannya dalam jaringan (online). Tapi di lapangan, ada cerita pahit-manis. Guru kewalahan tugas, lalu beberapa guru (tapi banyak) menyewa orang lain untuk mengerjakan modul online. Bayarnya bisa jutaan rupiah. Tergantung tawar menawar. Dan walaupun katanya ujiannya online, dengan kamera yang bisa mengawasi sekitar peserta, tetap saja bisa diakali. Sertifikat dapat, kompetensi? Jalan di tempat. Pemerintah puas: "Guru sudah tersertifikasi." Padahal yang benar-benar belajar adalah "joki pendidikan." Cobra Effect pun ketawa ngakak: "Di kelas ada guru, di balik layar ada operator bayaran."

Pemerintah juga sempat membagi laptop agar siswa melek teknologi. Lagi-lagi niatnya keren. Tapi tanpa pengawasan, Ada juga yang menjelma jadi alat gaming, lengkap dengan headset dan turnamen kecil-kecilan di rumah. Tidak jarang pula laptop hanya jadi pajangan, karena guru belum siap mengintegrasikan perangkat itu dalam pembelajaran. Cobra Effect angkat tangan sambil bilang: "Terima kasih, pemerintah. Mobile Legends makin ramai."

Sebenarnya, mari kita jujur: tidak semua program pendidikan itu buruk. Banyak yang manfaatnya terasa---ada beasiswa yang menolong anak hampir putus sekolah, ada pelatihan guru yang bikin sebagian guru sadar kalau teknologi bukan sekadar untuk selfie di depan kelas, ada juga literasi yang bikin perpustakaan tak lagi sekadar gudang debu. Tapi, ya itu tadi, selalu saja ada lubang menganga yang bikin program jadi mirip bak mandi bocor: air niat baiknya sudah penuh, tapi merembes keluar lewat celah korupsi, formalitas, dan pura-pura. Yang penting dokumen dan laporan lengkap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun