Mohon tunggu...
Ramlan Effendi
Ramlan Effendi Mohon Tunggu... Guru yang suka menulis

berbagi dan mencari ilmu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gratis yang Bikin Lupa

1 Oktober 2025   07:25 Diperbarui: 30 September 2025   18:01 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di warung kopi, kerupuk gratis di meja biasanya jadi rebutan. Orang comot tanpa malu, bahkan kadang sampai berebut. Tapi coba kalau kerupuk itu dibeli, ditaruh di piring dengan hormat, dicocol sambal dengan sabar, lalu dimakan sampai remah terakhir.

Tetangga saya juga pernah dapat kipas angin gratis dari bank. Baru seminggu rusak, dilempar ke gudang tanpa perasaan. Tapi kipas hasil jualan sayur? Dirawat kayak anak sendiri: diminyaki, dibersihin, kalau macet dikipasin balik. Gratis sering diperlakukan kayak barang numpang lewat, sementara hasil perjuangan jadi bagian keluarga.

Anak-anak sekolah lebih lucu lagi. Pensil gratis dari sekolah biasanya hilang dalam 10 hari. Tapi pensil yang dibeli dari uang jajan sendiri jadi pusaka: dipotong pakai cutter biar hemat, sampai pendek segede jempol pun masih dipakai nulis. Gratis bikin lupa, perjuangan bikin setia.

Nah, sama halnya dengan kisah sederhana tentang sebuah mug. Pernahkah Anda pulang dari belanja, dapat hadiah mug promo yang kelihatannya keren? Dua minggu pertama dipakai buat kopi, minggu ketiga sudah dipakai nyimpen sendok, bulan berikutnya jatuh, pecah, dan kita bilang enteng: "Ah, cuma mug gratis." Bandingkan dengan mug keramik handmade hasil nabung berbulan-bulan, atau mug yang kita bikin sendiri di studio keramik. Mug itu bukan cuma tempat minum, tapi semacam ijazah pribadi. Ada keringat, ada sabar, ada kebanggaan. Bedanya jelas: mug gratis jadi kenangan samar, mug perjuangan jadi pusaka abadi.

Psikolog Barat, Leon Festinger, sampai bikin teori keren: effort justification. Intinya, semakin susah jalannya, semakin kita merasa hasilnya berharga. Mahasiswa yang jungkir balik ikut tes masuk universitas biasanya lebih bangga dengan kampusnya ketimbang yang "diterima karena ada rekomendasi keluarga dekat rektor." Usaha jadi semacam tiket moral. Kalau sudah berdarah-darah, hasilnya pantas dijaga, meski nilainya sebenarnya sama saja.

Ekonomi juga nggak mau kalah. Hukum kelangkaan bilang: barang langka jadi mahal, barang berlimpah jadi obral. Anehnya, manusia sering lebih menghormati barang yang sulit dicari ketimbang yang mudah tersedia. Itulah kenapa jomblo yang sulit didapat sering disebut "mahal," sementara yang gampang ditemui malah dibilang "pasaran."

Dalam psikologi, ada istilah endowment effect. Artinya kita lebih menghargai apa yang kita miliki, apalagi kalau memilikinya penuh perjuangan. Seorang petani pasti lebih bangga makan nasi dari sawahnya sendiri ketimbang nasi kotak yang dibagi gratis di balai desa. Yang satu ada rasa kepemilikan, yang lain sekadar numpang kenyang.

Motivasi juga ikut campur. Gratisan biasanya melahirkan motivasi ekstrinsik: "Ya udah, dikasih, terima." Tapi kalau hasil perjuangan, muncul motivasi intrinsik: bangga, lega, bahagia, bahkan bisa jadi bahan cerita bertahun-tahun. Nilai 7 hasil belajar semalaman kadang lebih membanggakan ketimbang nilai 9 hasil nyontek.

Bahkan otak kita ternyata doyan drama. Sistem dopamine-hormon bahagia itu-lebih suka muncul setelah kita jungkir balik dulu. Kalau semua datang instan, otak jadi malas kasih hadiah bahagia. Makanya, beli motor kredit tiga tahun rasanya lebih nikmat ketimbang menang undian motor di supermarket. Otak kita lebih menghargai proses daripada hasil yang tiba-tiba nongol.

Budaya Nusantara pun sudah lama mengajarkan itu. "Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian." Artinya apa? Kita diwarisi keyakinan bahwa yang layak dibanggakan hanya datang lewat keringat. Makanya, barang yang didapat dengan cara gampang sering bikin malu, bukan bangga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun