Mohon tunggu...
Ramlan Effendi
Ramlan Effendi Mohon Tunggu... Guru yang suka menulis

berbagi dan mencari ilmu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gratis yang Bikin Lupa

1 Oktober 2025   07:25 Diperbarui: 30 September 2025   18:01 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Gratis vs Berbayar

Fenomena ini jelas kelihatan di sekolah. Siswa yang nilainya dinaikkan gratisan jarang belajar lebih giat. Tapi yang mati-matian belajar demi naik nilai justru jadi lebih rajin. Di dunia kerja pun sama. Bonus rutin yang datang otomatis terasa hambar, tapi bonus hasil capek-capek mengejar target terasa kayak minum es teh manis setelah lari maraton. Dalam pertemanan juga begitu: sahabat seperjuangan lebih kokoh ketimbang seribu teman instan hasil klik tombol follow.

Intinya, manusia bukan kalkulator. Kita nggak cuma menghitung untung rugi, tapi juga menilai cerita di balik sesuatu. Barang gratis biasanya nggak punya cerita, makanya cepat dilupakan. Barang hasil perjuangan penuh narasi epik, dan itu bikin ia jadi berharga. Proses melahirkan makna, dan makna itulah yang bikin manusia menghargai apa yang ia miliki.

Tapi hati-hati, jangan sampai salah paham. Gratis itu tidak selalu berarti murahan. Sekolah gratis, misalnya, sering diremehkan. "Ah, nggak bayar, berarti kualitasnya biasa-biasa aja." Padahal justru di situlah tantangan: bagaimana bikin murid, guru, dan orang tua ikut berjuang dalam bentuk lain---disiplin, tanggung jawab, menjaga fasilitas. Sekolah gratis tetap bisa mahal nilainya, asal kita isi dengan keringat non-uang.

Sayangnya, budaya kita kadang masih kaku dengan pepatah "ada harga, ada rupa." Kalau gratis, dicurigai abal-abal. Padahal di negara maju, sekolah gratis justru dianggap sebagai hak sosial yang sangat berharga---bukan hadiah, tapi hasil gotong royong pajak rakyat. Gratis bukan berarti murahan, melainkan hasil perjuangan bersama.

Kalau ditarik ke teori psikologi, sekolah gratis pun butuh proses internalisasi nilai. Kalau tidak, murid bisa merasa: "Nggak sekolah juga nggak rugi, toh nggak bayar." Tapi kalau mereka sadar bahwa sekolah gratis adalah hasil perjuangan negara, pajak masyarakat, dan pengorbanan kolektif, maka nilainya tetap tinggi. Sekolah gratis pun berubah jadi "mug perjuangan bersama"-bukan barang promo, tapi pusaka yang harus dijaga.

Pada akhirnya, manusia ini memang makhluk aneh. Kalau dikasih gratisan, sering lupa bersyukur. Kalau disuruh bayar, baru sadar nilai sesuatu. Persis kayak pejabat yang teriak "pendidikan gratis untuk semua," tapi lupa bahwa gratis itu dibayar pakai keringat rakyat lewat pajak. Jadi sebenarnya, sekolah gratis pun bukan betul-betul gratis-cuma dipindahkan cara bayarnya: dari dompet pribadi ke rekening negara.

Lucunya, kita sering kebalik-balik: barang promo dianggap harta karun, tapi setelah sebulan dibuang di gudang. Sementara barang perjuangan dianggap biasa, padahal di situlah letak nilai yang sesungguhnya. Jangan-jangan, bangsa ini terlalu sering hidup dengan mental "pemburu diskon" ketimbang mental "pembuat nilai."

Mungkin kita perlu belajar lagi pada mug, kerupuk, pensil, dan kipas angin. Mereka diam saja, tapi bisa jadi guru besar kehidupan. Mereka mengajarkan: kalau hidup ini terlalu sering gratis, kita justru kehilangan rasa. Kalau hidup ini penuh perjuangan, barulah kita menemukan makna. Jadi, jangan kebanyakan berharap gratisan. Nanti bukan cuma mug yang pecah, tapi juga harga diri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun