Dihilangkannya kewajiban untuk menyusun skripsi bagi mahasiswa yang ingin meraih gelar sarjana ditanggapi beragam oleh banyak kalangan. Sebagian pihak menilai, kebijakan yang dikeluarkan oleh Kemenristek Dikti tersebut dapat meringankan beban mahasiswa yang ingin segera menyelesaikan studinya. Namun demikian, tidak sedikit pula yang memandang kebijakan ini sebagai langkah mundur dan dapat melunturkan budaya literasi di lingkungan kampus. Pemerintah sendiri berdalih, berbagai kecurangan dalam proses penyusunan skripsi (seperti kasus penjiplakan atau jual beli skripsi) belum mampu diselesaikan oleh pihak Perguruan Tingi (PT) hingga saat ini. Sebagai gantinya, PT pun diberikan wewenang untuk memberikan tugas praktik maupun tugas penulisan lainnya yang bobotnya sesuai.
Menyikapi perbedaan pendapat di atas, ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian masyarakat, khususnya kalangan pendidikan. Pertama, tujuan pembuatan skripsi itu sendiri. Skripsi pada dasarnya merupakan sebuah karya tulis ilmiah yang didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa. Dalam hal ini setiap mahasiswa dituntut untuk mampu melahirkan solusi atas berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat. Tujuan tersebut tentunya hanya dapat tercapai apabila karya ilmiah mahasiswa ini benar-benar dipublikasikan. Sayangnya, kebanyakan skripsi yang dibuat dengan susah payah tersebut hanya menjadi pajangan di rak-rak buku perpustakaan. Tak heran apabila sebagian masyarakat menganggap tugas untuk menyusun skripsi sebagai hal yang mubazir.
Kedua, kemampuan mahasiswa dalam menyusun karya tulis. Penyebab utama terjadinya praktik jual beli skripsi maupun kasus-kasus penjiplakan adalah ketidakmampuan mahasiswa itu sendiri dalam membuat karya tulis. Hal ini tak terlepas dari tidak adanya upaya yang sungguh-sungguh dari pihak kampus untuk memberikan bekal kemampuan menulis kepada para mahasiswanya. Dari sekian banyak mata kuliah yang harus dikontrak oleh mahasiswa, hanya sedikit saja yang benar-benar berkaitan dengan kompetensi menulis. Padahal, menulis merupakan bagian penting dari budaya literasi yang harus benar-benar dijaga oleh setiap insan akademik.
Berdasarkan gambaran di atas, penulis berpandangan bahwa kebijakan untuk menghapuskan kewajiban skripsi bagi mahasiswa bukanlah kebijakan yang tepat. Berbagai kecurangan yang terjadi dalam penyusunan skripsi hendaknya dijawab oleh pihak kampus dengan memberikan bekal kemampuan menulis kepada mahasiswanya. Menjauhkan mahasiswa dari dunia tulis menulis hanya akan melunturkan budaya literasi yang merupakan ciri khas perguruan tinggi. Selain itu agar skripsi yang disusun benar-benar bermanfaat, ada baiknya setiap mahasiswa juga diwajibkan untuk mempublikasikan kesimpulan penelitiannya dalam sebuah jurnal ilmiah maupun media online. Dengan demikian, hasil jerih payah mereka selama lima tahun duduk di bangku kuliah dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Â
Ramdhan Hamdani
Â
www.pancingkehidupan.com