Mohon tunggu...
Rahmat Abadi
Rahmat Abadi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tentang Seorang Kawan (Bagian 2)

12 November 2016   00:09 Diperbarui: 20 November 2017   23:18 1335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hilman Matauch (Foto: Tribunnews.com)

Hari, bulan dan tahun pun berganti. Memasuki tahun kedua, tidak banyak yang berubah selain sinergitas yang masih rapuh. Tapi, emang dasar “Sang Kontributor”, energi lapangannya bergeliat setiap saat. Andrenalin nya terpompa setiap waktu, justru di kala kesulitan mendera.

Tak ada rotan, akar pun jadi. Organisasi yang semenjana itu tidak ia biarkan berjalan bagai negeri auto pilot. Ia tampil ke depan memimpin orkestra Organisasi Press Room dalam menjalankan fungsinya. Pelan tapi pasti, dia mampu meningkatkan kemampuan 'pemain' rhythm menjadi lead gitar dalam Orkestra tersebut. sempet tertatih, Press Room akhirnya dapat berlari kencang meski sang ketua tetap "ditarget".

Saya teringat pernyataan ‘Pimpinan Tertinggi’ dalam acara kumpul wartawan di Pulau Dewata, yang “sepertinya” bosan, kenapa? karena pagi-siang-sore-malam, didalam maupun diluar Parlemen, selalu melihat sosok pria tambun dengan jambang anehnya Itu, bersama-sama para pewarta lain disejumlah kegiatan legislasi para Wakil Rakyat.

Hilman lagi Hilman lagi.. ada pengurus Press Room lain loh.. saya dengar diganti-ganti,.. ungkap Sang Pimpinan Tertinggi yang langsung dimaknai oleh segelintir pejabat dan anggota Press Room sebagai "kode" jika Pimpinan memang tidak menyukai Sang Ketua. Dengan wajah sumringah dan senyum lebar, mereka langsung membentuk “club rumpi cap cusz", sementara Sang Ketua bersama pengurus dan staf SetJen DPR jusru sibuk mengendalikan ‘barisan’ agar tetap mengikuti seluruh rangkaian acara sampai selesai.

Hmm.. saya dan teman-teman lainnya jusru memandang pernyataan Pimpinan tertinggi ini, sebagai bukti nyata jika Sang Ketua memang menjalankan fungsi, tugas serta amanah yang diberikan kepadanya sebagai pejabat, untuk melayani rakyat press room, wakil rakyat dan setjen di Parlemen.

Kemana perginya mereka yang seharusnya bekerja sebagai pejabat Press Room? Terpendam di pagi hari dan tersembunyi di siang hari. Menjelang sore hari, sedang asyik bersantai ria dengan kesibukannya masing-masing sambil sesekali menyeruput kopi sore penyemangat obrolan hingga malam menjelang.

Kemana tanggung jawab atas amanah? Tidak lagi relevan untuk dipertanyakan. Terbungkus ambisi yang sudah di ubun-ubun. Satu kata, "Hilman harus disingkirkan". Caranya? "Sedang dipikirkan, Pake apa saja, permalukan dia, bongkar masalah internal kantor dan pribadinya, ayo busukin, biar dibenci supaya tidak dipilih lagi (kalo mau melanjutkan periode kedua)". Kapan? "Setiap saat, menunggu waktu yang tepat, serta yang paling penting adalah menunggu ‘peluru tercapai sesuai target (meminta sumbangan) yang akan disebar sebelum pemilihan, Alamaaak.

Hmmm... Guman seorang pewarta dari Media Massa Nasional yang tidak pernah mau 'ikut-ikutan' alias hanya meliput/menjalankan tugas kantor. Seperti inikah bentuk organisasi yang sedang diimpikan oleh mereka? Menusuk dari dalam, menggunting dalam lipatan, menghembuskan isu yang cendrung menjadi fitnah namun berwajah manis saat berjumpa.

Tidak elokkah andai kekurangan dan kelemahan didiskusikan, didialogkan dan dibahas secara internal? Bukankah mereka begitu dewasa untuk sekedar memahami kondisi satu sama lain? Ketimbang mengumbar aib di depan publik yang juga belum tentang sahih, tidakkah mereka adalah bagian dari aib itu sendiri?

Lagi-lagi, ambisi mengalahkan segalanya. Nyata dengan jelas, kekuasaan bukan sarana untuk mencapai tujuan, namun semata alat untuk berkuasa. Saat kekuasaan tidak seperti yang diinginkan, kegelisahan pun bermunculan, kasak-kusuk bagai ulat kepanasan. Hati mereka Gundah gulana seperti ‘guratan bolpoint’ Chairil Anwar, “aku tidak bisa tidur.. orang ngomong.. anjing gonggong..dunia jauh mengabur”. Persepsi subjektif dikedepankan, mata hati (sengaja) ditutup, kepala dingin terbungkus panasnya nafsu, teling pun ditutup rapat dari kebenaran.

Tak ada yang dapat diharapkan dari sebuah pola kerja organisasi seperti ini. Memang, agenda tetap berjalan, aktivitas ke-PressRoom-an tetap berlangsung sebagaimana mestinya. Tapi, tahukah kita, secara substansial, kerja-kerja yang nampak depan mata hanya sebatas procedural saja. Akan tetapi, harus diakui terobosan dan inovasi ‘Sang Kontributor’-lah yang mampu mewarnai dan mengisi rutinitas di Press Room. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun