Ketika seorang anak dianggap "nakal", apa yang seharusnya dilakukan oleh negara? Mengirimnya ke barak militer agar patuh, atau membantunya memahami dan membentuk ulang perilaku melalui pendekatan psikologis dan edukatif? Program pengiriman anak "nakal" ke barak militer yang didukung oleh Dedi Mulyadi dan dikritik keras oleh berbagai pihak, termasuk Rocky Gerung, memperlihatkan kegagalan mendasar negara dalam memahami hakikat pendidikan.
Barak Militer Bukan Sebuah Solusi
Seperti dilaporkan oleh Tempo dan Kompas, Dedi Mulyadi menginisiasi program pengiriman anak-anak yang dicap "nakal" ke barak militer agar mendapatkan pelatihan kedisiplinan dan keteraturan. Rocky Gerung menyebut bahwa pendekatan seperti ini menandakan negara telah gagal menjadi pendidik. "Negara yang tak mampu menjadi guru, menjelma jadi polisi," ujarnya dalam artikel kompas.
Apa yang terjadi sebenarnya bukan soal kedisiplinan semata, tetapi representasi dari kegagalan struktural dalam menyediakan sistem pendidikan yang inklusif, adil, dan memahami latar belakang sosial siswa. Alih-alih memperbaiki kondisi keluarga, sekolah, dan komunitas anak-anak tersebut, negara justru memilih jalur singkat dengan mendisiplinkan melalui cara militeristik. Ini bukan pendidikan, tetapi penjinakan.
Ketimpangan Sosial sebagai Akar Masalah
Anak-anak yang dikirim ke barak bukan hanya mengalami represi fisik, tapi juga represi sosial. Mereka dikonstruksi sebagai ancaman sosial, bukan sebagai subjek pendidikan yang memiliki potensi. Padahal, sebagaimana ditekankan dalam teori ketimpangan kelas, individu dari keluarga miskin kerap kali mengalami deprivasi relatif, yakni ketidakmampuan mengakses kebutuhan yang dianggap biasa oleh kelompok lain termasuk akses terhadap bimbingan dan pendidikan berkualitas.
Menurut Kath Woodward dalam Questioning Identity, "ketimpangan sosial bukan sekadar soal kekurangan uang, tetapi berkaitan dengan identitas, peluang hidup, dan martabat". Dalam masyarakat yang timpang, mereka yang termarginalkan sering kali mengalami stigma, yaitu pelabelan negatif yang melekat dan membatasi akses terhadap perubahan sosial yang positif. Program seperti ini mencerminkan apa yang disebut oleh Woodward sebagai representasi sosial yang merendahkan kaum miskin bahwa mereka perlu "diluruskan" secara paksa karena dianggap tak mampu mengatur dirinya sendiri.
Dalam konteks sosial Indonesia yang masih diwarnai ketimpangan, program barak ini sangat mungkin hanya menargetkan anak-anak dari keluarga miskin atau lingkungan terpinggirkan. Anak-anak kelas menengah ke atas yang mengalami "kenakalan" mungkin mendapatkan konseling pribadi, terapi psikologis, atau bahkan dibela oleh jaringan sosial keluarganya. Sementara anak-anak kelas bawah langsung dicap sebagai "nakal" dan dikirim ke barak. Ini menunjukkan bagaimana kekuasaan negara lebih keras dijatuhkan kepada mereka yang tak punya perlindungan sosial.
Pendidikan sebagai Ruang Pemulihan Sosial
Alih-alih barak, anak-anak dengan masalah perilaku perlu diarahkan ke sistem dukungan psikososial yang terintegrasi. Sekolah seharusnya bekerja sama dengan konselor, psikolog pendidikan, dan pekerja sosial. Selain itu, memperkuat pendidikan karakter berbasis empati dan refleksi jauh lebih efektif daripada menanamkan rasa takut. Pendidikan seharusnya menjadi proses memanusiakan manusia, bukan mendisiplinkan tubuh layaknya tentara. Pendidikan yang manusiawi mengajak siswa untuk memahami dirinya, bukan sekadar tunduk pada instruksi.