Mohon tunggu...
Rahmatullah Usman
Rahmatullah Usman Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengajar Di Jakfi Nusantara

Membacalah dan Menulis, engkau akan menemukan diriMu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tauhid dan Inklusivisme

7 Desember 2019   14:27 Diperbarui: 7 Desember 2019   15:02 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dorongan kearah yang lebih baik dari kehidupan manusia, akan searah dengan cita-citanya, dengan dasar itulah manusia bertindak atas dasar cita-cita tersebut.Dengan demikian cita-cita tersebut tentu dengan dasar keyakinan manusia yang dimana keyakinan tersebut di-inginkan untuk menjadi nilai dari kehidupannya, atas dasar itulah umat islam dalam keyakian Tauhidnya berupaya menghidupkan nilai sosial yang sepadapan dengan pengetahuan terhap tauhid.Yang  menjadi persoalan bagi Cak Nur ialah pemahaman umat islam terhadap tauhid. 

Di sisi lain umat islam meyakiani tauhid (ke- Esaan Tuhan) dan sembari meyakini sesuatu yang lain, dampak dari hal tersebut menjadi tauhid memiliki campuran, yang bergejolak dalam diri manusia.

Sebab itulah problem sosial, dalam relevansi terhadap tauhid menjadi sumber persoalan. Bagi Cak Nur tauhid mutlak/murni, sebagai pembebasan manusia dari kungkungan dirinya dengan fitrah yang hanif, manusia terdorong untuk menemukan kebenaran.

Oleh karena itu, Tuhid menjadi dasar usaha umat islam  untuk memperbaiki individunya dan sosialnya. Cak Nur dalam pandangan Tuhuid memerlukan iman yang murni tanpa meyakini sesuau kebenaran lain, kecuali (ke-Esaan Tuhan).

Apa bila paradigama Tauhid masih membelenggu manusia, maka jalan menempuh berbaikan sosial akan menjadi kemunduran bagi peradaban umat islam. Bisa kita merujuk  pandangan Cak Nur terkait pemikirannya pada tahun 70 an, dengan (keharusan pembaharuan pemikiran islam).

suatu proyek yang menjadi big bang dalam melihat umat islam yang mengalami kemunduran pemikiran. Serta mengalami dilema antara modernitas dan tradisional yang tidak memisahkan antara yang sakral dan yang profan.

Hal tersebut karena paradigma pemikiran mengenai modernitas dan disisi lain bangunan kayakinan Tahuid yang tidak murni/ ke-esaan.

Cak Nur menegaskan proses pemurnian keperyaaan tersebut harus diperoleh dengan dua cara, (pertama): melepaskan diri dari kepercayaan yang palsu dan sekaligus (kedua): melakukan upaya pemusatan hanya kepada yang benar,
Penjelasan Cak Nur diatas.

Jika kita melihat dalam metode trasenden yang digagas oleh Mullah Sadra, bahwa memang hal yang menggagu manusia untuk sampai pada wujud adalah keyakinan yang masih berbentuk eidetic (esensi). Yang bercampur sejarah, social ,etika, lingkungan dan kebudyaaan.

Untuk melepaskan hal tersbeut metode trasenden harus kembali pada jiwa (nafs), penyucian diri, dengan mengawali titik awal radikal ontetik (wujud). Oleh karena itu reduksi eidetic dan reduksi ontetik diperlukan untuk kembali pada jiwa yang hanif.

Dengan hal tersebut rekonstruksi fenomenologi, dalam metode Trasenden dimulai dengan reduksi eidetic, dengan pengalaman manusia, reduksi tersebut akan sampai pada ontetik, wujud yang bisa didekatkan kelahiran kembali atas dasar nafs.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun