Bumi berputar dan terus berputar pada porosnya, pada beberapa waktu putarannya memberikan sebagian dataran terjeda dari sinar matahari yang menjadikannya malam, dan sisi lainnya secara simultan terpapar sorot matahari penuh energi dan nutrisi yang menjadikannya siang. Begitu seterusnya, dan seharusnya.
Siang dan malam memberikan waktu kepada dataran dan lautan untuk rehat serta memberikan sebuah nilai keseimbangan. Ada siang, ada malam, ada darat ada laut, ada panas ada dingin. Sinar matahari menyumbang segudang manfaat bagi setiap makhluk yang ada, memberi segenap kekuatan untuk bangkit dan berkembang.
Tak terkecuali pula air. Ia juga menjadi pelengkap dari kehadiran sang surya. Mereka saling bergantian mengisi dan menghidupi setiap makhluk. Tumbuhan, binatang, dan manusia jelas akan sirna tanpa kehadirannya. Semua tumbuhan memerlukan sinar matahari dan air untuk bertahan dan bereproduksi, hampir semuanya butuh sinar dan air secara berimbang.
Lantas, karena "hampir" berarti bahwa tidak semua sepakat dengan kesamaan, ada tumbuhan yang agaknya sedikit berbeda pendirian. Ia tidak terlalu bernafsu secara berlebihan terhadap air. Tumbuhan lain tampaknya memandang si "penyimpang" ini aneh dan tak tahu rasa syukur terhadap pemberian sang maha kuasa, mereka sedikit mencibirnya.
Akan tetapi, kekurangan air tak membuatnya lemah, apalagi terhadap cibiran, ia sudah terlalu kuat. Apalagi tumbuh di panasnya gurun pasir pun ia dapat lalui. Mendengar cibiran dari yang tak sepaham dengannya ibarat buih di antara luasnya samudera, tak begitu berpengaruh pada pendiriannya. Namanya pun terbilang datar dan tak terlalu spesial, namun sama sekali tidak mengurangi kesan kuat dalam dirinya, itulah "Kaktus".
Ia termasuk makhluk yang sadar diri sehingga tak mau berlebihan, ia hanya hidup sesuai dengan apa yang dikaruniakan padanya, ia mengoptimalkannya. Ia membatasi diri dengan yang disebut oleh tumbuhan lain sebagai dewa, yaitu air. Kaktus memahami dirinya berakar kecil, maka ketika terlalu banyak ia menyerap air, malah akan membuat busuk akarnya, itulah sebab ia menahan diri, memahami diri, dan merasa diri cukup.
Tidak ada pikiran ambisius dalam menyerap air secara berlebihan, walaupun ia yakini air itu baik, tetapi jika berlebihan baginya, kebaikan itu akan berubah menjadi keburukan. Kaktus menyadari bahwa hidup harus sesuai dengan kodrat yang ia punyai. Jika saja ia melangkahi kodrat itu dengan berlebih-lebihan, ia sendiri paham itu akan merusak hidupnya. Kaktus tak ingin rakus.
Bukan berarti tanpa air yang mulia kaktus menjadi tumbuhan yang lemah. Justru tanpa banyak mengkonusmsi air itu membuat hajat hidupnya lebih sejahtera.Â
Memang karunia tuhan semesta alam adalah dengan menghadiahi dirinya untuk bisa bertahan hidup dalam cuaca dan iklim ekstrem. Kaktus juga tak sulit dirawat, sehingga tak akan menyulitkan alam sekitar juga yang memilikinya.
Kaktus juga tumbuhan yang tahu diri karena ia menyadari pertumbuhannya tidak cepat, maka ia mendalami makna akan sebuah kesabaran dan ketabahan. Sebagai tumbuhan yang tahan pada kondisi ekstrem, itu membuatnya sekuat tenaga, dengan memaksimalkan karunia kekuatannya untuk tabah dalam menerima segala tantangan hidup. Ia yakin, setiap cobaan pasti di kemudian hari ada bahagianya juga. Kuncinya hanya ikhlas, ikhtiar, dan tawakal.
Sebagai tumbuhan yang juga terkenal dengan ciri utama yaitu memiliki banyak duri, kaktus mencoba memahamkan kepada makluk lain bahwa kehadiran durinya bukan untuk menyakiti, sama sekali bukan itu peruntukannya. Sebagai makhluk yang mawas diri, kaktus menghendaki bahwa duri yang tersusun pada tubuhnya semata-mata hanya untuk melindungi diri, bukan sebagai pemicu pertikaian.