Salatiga, kota kecil yang kaya akan keberagaman budaya dan agama, di sudut kota ini berdiri sebuah bangunan yang tidak biasa, sebuah masjid dengan ornamen khas klenteng Tionghoa. Masjid ini bukan hanya tempat beribadah, tetapi juga menjadi saksi bagaimana toleransi dan akulturasi budaya berjalan harmonis di Salatiga. Bangunan ini telah menjadi salah satu bagian dari Pesantren, sebuah lembaga pendidikan agama yang lahir dari perjalanan sejarah panjang dan penuh makna. Menilik dari sejarahnya, berdasarkan tuturan langsung dari pemilik Pesantren dan di dukung oleh cerita para pengurus Pesantren, bangunan masjid ini dulunya merupakan bagian dari pabrik enting-enting bermerek Dua Holo yang dimiliki oleh seorang pengusaha keturunan Tionghoa yang bernama Bapak Yoshep. Untuk memenuhi kebutuhan rohani pekerjanya, karena mayoritas pekerjanya beragama Islam, ia membangun masjid di sekitar pabrik dengan tetap mempertahankan budaya leluhurnya lewat desain masjid bernuansa klenteng.
Setelah memeluk Islam dan berganti nama menjadi Bapak Yusuf Hidayatullah, beliau tetap menjaga dan menghargai nilai-nilai budaya leluhurnya. Ia juga sempat menjalankan ibadah haji sebagai wujud keimanan dan ketakwaan. Namun, seiring berjalannya waktu, suatu saat takdir berkata lain, Pak Yusuf meninggal dunia dan usaha pabrik yang dirintisnya diambil alih oleh sang mendiang istri. Sayangnya, manajemen pabrik yang dikelola tidak berjalan dengan baik dan akhirnya pabrik tersebut mengalami kebangkrutan dan berujung disita oleh bank.
Melihat situasi dan kondisi, di tengah pabrik mengalami kebangkrutan dan disita oleh bank, Bapak Agus Ahmad sangat menyayangkan peristiwa tersebut. Selanjutnya, bangunan tersebut ditebus oleh beliau yang kemudian didirikannya sebuah Pesantren. Warisan budaya dan nilai toleransi yang sudah melekat itu pun tidak luntur, dan tetap  dilestarikan hingga menjadi bagian dari identitas Pesantren.
Fenomena ini mencerminkan akulturasi budaya, yaitu proses perpaduan dua budaya tanpa menghilangkan unsur asli. Menurut KBBI, "akulturasi adalah proses penyesuaian budaya antara dua kelompok masyarakat yang berbeda budaya sehingga terjadi perubahan kebudayaan" (KBBI, 2025). Sementara menurut Fauzi (2018) dalam artikelnya, yang berjudul (Budaya dan Toleransi : Kajian Akulturasi di Masyarakat Multikultural) akulturasi melahirkan nilai-nilai dan simbol baru yang harmonis tanpa penindasan budaya tertentu. Hal ini juga sejalan dengan hasil studi Tim Peneliti Kemenag RI (2022) "Peran Pondok Pesantren Dalam Membangun Moderasi Beragama" yang menunjukkan bahwa pesantren juga bisa menjadi ruang bagi akulturasi budaya dan toleransi, seperti di Pondok Pesantren Kauman, Lasem yang memadukan unsur arsitektur Tiongkok, Jawa, dan Belanda sebagai simbol harmoni.
Pondok Pesantren Annashiiha memeluk budaya dengan cara mempertahankan bentuk bangunan masjid klenteng dan mengajarkannya sebagai simbol persatuan dalam keberagaman. Santri tidak hanya diajarkan agama, tetapi juga diajak memahami tentang seberapa pentingnya menghargai budaya lain. Nilai-nilai seperti saling menghormati, gotong royong, dan keterbukaan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di lingkungan Pesantren yang berbaur dengan para masyarakat sekitar.
Melalui kegiatan sosial lintas budaya, bahkan sampai pada pelestarian seni tradisional, pesantren ini aktif mempraktikkan toleransi secara nyata. Akulturasi bukan hanya terlihat dari fisik bangunan, tapi juga dari cara hidup dan semangat kebersamaan di dalamnya. Peristiwa ini telah menjadi bukti bahwa pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga mampu membangun jembatan harmoni antarbudaya.
Daftar Referensi
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). "Akulturasi." Diakses 26 Juni
2025. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/akulturasi
Fauzi, Ahmad. (2018). Budaya dan Toleransi: Kajian Akulturasi di Masyarakat Multikultural. Jurnal Kebudayaan Nusantara, Vol. 5, No. 2.
Tim Peneliti Kemenag RI. (2022). Peran Pondok Pesantren Dalam Membangun Moderasi Beragama. Balitbang Kemenag.