Kabupaten Simeulue merupakan kabupaten yang memiliki potensi yang cukup besar di bidang perikanan laut. Namun potensi besar ini tak sebanding dengan kenyataan pahit yang dialami oleh nelayan simeulue.
Banyaknya hasil tangkapan tak menjamin banyak pula uang yang diperoleh oleh nelayan. Para nelayan terutama nelayan kecil dan sedang yang menjual hasil tangkapan hanya untuk konsumsi local simeulue sangat terjepit. Harga ikan hasil tangkapan mereka sangat ditentukan oleh para “penggalas” atau agen penampung ikan di Sinabang yang kemudian menjual kembali ikan tersebut ke masyarakat. Bila di lihat dari kenyataan yang ada, harga yang ditentukan oleh para “penggalas” terkadang sangat tidak manusiawi dan terlalu menekan harga beli mereka sehingga nelayan yang tidak tahu akan menjual kemana lagi hasil tangkapan mereka mau tidak mau menyerahkan ikan hasil tangkapan mereka dengan harga yang sangat jauh dari harapan. Padahal setelah para “penggalas” membeli ikan dari nelayan dengan harga yang sangat murah mereka menjual kembali ikan tersebut dengan harga hingga 2 kali lipat bahkan lebih kepada masyarakat.
Kondisi ini tentulah sangat tidak menguntungkan bagi para nelayan kecil dan sedang yang menggantungkan penjualan hasil tangkapan untuk pasar local dan para “penggalas” yang menjual langsung ke konsumen. Karena hamper tidak memungkinkan jika para nelayan itu juga menjual langsung berkeliling menawarkan hasil tangkapan mereka ke konsumen seperti yang dilakukan oleh “penggalas”. Hal ini dikarenakan kondisi tubuh yang memang sudah letih bekerja memancing atau menarik jaring pada malam harinya tanpa tidur.
Kondisi ini akan sangat diperparah bila bagan besar yang beroperasi di sekitar laut Simeulue memperoleh hasil tangkapan yang cukup besar, maka seketika harga ikan nelayan kecil dan sedang akan tidak memiliki harga lagi. Pada saat inilah para “penggalas” dengan sesuka hati dan leluasa menawar ikan hasil tangkapan nelayan dengan serendah mungkin. Padahal jika ditelaah seharusnya besarnya hasil tangkapan bagan besar tidak mempengaruhi pasar local karena para pemilik bagan besar menjual hasil tangkapan mereka ke luar Pulau Simeulue terutama Labuhan Haji.
Para nelayan selalu mengeluh, “ kita yang kerja mati-matian, penggalas yang mendapat keuntungan”. Begitulah nasib nelayan simeulue, sangat ironis dan berbanding terbalik dengan potensinya.
Pernah terjadi harga ikan “meong-meong” atau sejenis dencis dihargai Rp. 200.000.-/fiber atau setara 200 kg, saat tangkapan nelayan banyak. Tapi harga di pajak dan di eceran oleh penggalas harga berkisar Rp. 5000.- Rp. 10.000./tumpuk atau setara dengan kurang lebih 1,5 – 2 kg. Bisa anda hitung sendiri berapa keuntungan yang diambil oleh para “penggalas”.
Sudah sepantasnya pihak-pihak terkait benar-benar memikirkan dan membantu permasalahan yang dihadapi oleh nelayan di simeulue ini terutama bidang pemasaran dan pengolahan hasil tangkapan untuk menjawab permasalahan ini, sehingga harapan para nelayan tidak tergerus oleh kenyataan dan kesendirian tanpa ada yang peduli dengan keadaan dan kesulitan mereka.
Seperti kata bang Haji Roma Irama “ SUNGGUH TERLALU”.