Mohon tunggu...
Rahadatul Aisyi Rafillah
Rahadatul Aisyi Rafillah Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

hai

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Opini: Kerumitan Ketahanan Pangan Indonesia

12 April 2025   04:33 Diperbarui: 12 April 2025   09:52 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kerumitan Ketahanan Pangan Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara agraris dan kepulauan terbesar di dunia. Namun, terkait dengan makanan, negara ini menghadapi masalah kompleks yang tidak bisa disebut sederhana. Masalah ketahanan pangan tidak hanya terletak pada produksi, tetapi juga pada distribusi yang tidak merata, pembangunan kembali lahan, tata kelola yang buruk, dan pengaruh kekuatan politik dan ekonomi. Jika ketimpangan ini tidak segera dihilangkan, maka akan memperlebar kesenjangan kekayaan di daerah.

Salah satu masalah paling akut dalam konteks ketahanan pangan adalah distribusi yang tidak efisien. Daerah-daerah dengan produksi berlebih, seperti Jawa dan Sumatera, seringkali mengalami kelebihan pasokan, sedangkan daerah-daerah terpencil seperti Papua dan Maluku mengalami kesulitan dalam mengakses bahan makanan pokok. Contoh ekstrem adalah perbedaan harga: di Jakarta, telur ayam bisa berharga Rp. 25.000 per kg, dan di Jayapura - hingga Rp. 50.000 per kg. Selain itu, di Sorong, banyak sayur dan buah yang dikirim dari Pulau Jawa rusak bahkan sebelum sampai di tempat tujuan karena minimnya fasilitas pendingin. Kesenjangan ini didasarkan pada biaya logistik yang tinggi dan infrastruktur yang minim (Pusat Kebijakan Perdagangan Domestik, 2022).

Masalah lain yang sangat serius adalah berkurangnya lahan pertanian akibat pembangunan kembali lahan. Di Pulau Jawa, persawahan yang dulunya subur kini disulap menjadi kawasan industri dan pemukiman. Di Karawang yang dikenal sebagai lumbung padi Jawa Barat, banyak lahan yang kini telah diubah menjadi kawasan industri. Akibatnya, produksi beras lokal menurun dan Jawa harus bergantung pada pasokan dari luar. Ironisnya, ketika masyarakat mencoba membuka lahan baru di luar Jawa, misalnya di Kalimantan atau Papua, justru menimbulkan dilema lingkungan berupa penggundulan hutan dan kerusakan lingkungan.

Isu ketahanan pangan yang sama pentingnya juga terkait erat dengan perubahan iklim. Peristiwa cuaca ekstrem dan permulaannya yang lambat berdampak serius pada sistem pertanian, mulai dari mengganggu musim tanam hingga merusak infrastruktur irigasi. Laporan analisis global menyebutkan bahwa upaya adaptasi perubahan iklim Indonesia masih parsial dan belum menyeluruh di semua sektor, sehingga belum cukup untuk mengatasi kerentanan sektor pangan.

Konflik kepentingan di bidang ekonomi politik pangan juga memperparah situasi tersebut. Ketika perusahaan-perusahaan besar menguasai sumber daya pertanian seperti benih, pupuk, dan distribusi, para petani lokal yang masih mengandalkan metode tradisional semakin dikesampingkan. Korporasi cenderung mengusahakan keuntungan jangka pendek, sementara petani kecil memikirkan keberlanjutan jangka panjang. Dominasi korporasi di pasar menciptakan ketimpangan struktural dan menjauhkan Indonesia dari cita-cita kedaulatan pangan.

Selain faktor teknis dan struktural, korupsi menjadi momok yang merusak ekosistem kebijakan pangan. Banyak program bantuan, seperti subsidi benih atau alat pertanian, tidak mencapai tujuan tersebut. Pada bulan Desember, terjadi kasus penyelewengan ratusan juta rupiah untuk pembelian benih berkualitas tinggi, yang ternyata dirusak oleh oknum pejabat. Akibatnya, petani justru menerima benih yang buruk dan menghadapi gagal panen. Hal ini menandakan bahwa sistem pengawasan dan penegakan hukum di bidang pangan masih sangat lemah.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, Indonesia memerlukan langkah-langkah strategis, antara lain: (1) meningkatkan produktivitas melalui teknologi dan inovasi, seperti pertanian presisi dan pemanfaatan varietas berkualitas tinggi, (2) meningkatkan infrastruktur distribusi untuk meningkatkan efisiensi dan pemerataan, (3) mengembangkan kebijakan pangan berbasis data untuk mengurangi ketimpangan spasial dan (4) Memperkuat lembaga penegak hukum agar program terlaksana sebagaimana mestinya dan bebas dari korupsi.

Indonesia memiliki semua potensi untuk mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan dan merata. Namun potensi tersebut akan sia-sia jika tidak dimanfaatkan secara bijak, transparan dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Oleh karena itu, semua pihak baik pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat sipil-harus bekerja sama, tidak hanya menuntut perubahan, tetapi juga berpartisipasi aktif dalam penyelesaiannya. Karena ketahanan pangan bukan hanya tentang produk kita saat ini, tetapi juga tentang masa depan mendatang.

Referensi:

Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID). (2024). Menghadapi ancaman kehilangan dan kerusakan akibat perubahan iklim pada sektor pangan di Indonesia. IRID. https://irid.or.id/publication/

Fauzan, M. R., Cahyani, A. D., & Malik, A. (2024). Ekonomi politik ketahanan pangan: Konflik kepentingan antara korporasi dan petani lokal. Kalianda Halok Gagas, 7(2), 175--178. https://doi.org/10.52655/KHG.V7I2.101 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun