Mohon tunggu...
Rafli Hasan
Rafli Hasan Mohon Tunggu... -

columnist, urban traveler, blogger

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kontroversi Lambang dan Bendera Aceh

22 November 2012   04:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:52 2290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_210703" align="aligncenter" width="640" caption="Bendera Gerakan Aceh Merdeka dijadikan sebagai Bendera Provinsi Aceh oleh DPRA. Apakah ini keinginan segenap rakyat ACEH atau hanya sekelompok mayoritas yang tengah berkuasa? "][/caption]

Aceh, sepertinya tak pernah lelah dilanda kontroversi. Setelah kontroversi pemiliukada Aceh yang sarat dengan pelanggaran hingga mengakibatkan berjatuhannya belasan korban jiwa, lalu muncul kontroversi qanun Wali Nanggroe yang enggan diuji membaca Al quran namun harus mampu berbahasa Aceh, saat ini DPRA tengah menggodok rancangan Qanun Kontroversi yaitu Bendera dan Lambang Aceh yang menurut Adnan Beuransyah, Ketua Komisi A DPRA  sudah final (http://www.aceh.us/showthread.php?1256-Bendera-dan-Lambang-GAM-Sudah-Final).

[caption id="attachment_210705" align="aligncenter" width="461" caption="Buraq Singa yang juga lambang Aceh Sumatera National Liberation Federation (ASNLF) juga dijadikan lambang provinsi Aceh, bukankah hal ini justru memancing kekisruhan dalam perdamaian?"]

1353556448116376380
1353556448116376380
[/caption]

Tentu saja, bendera dan lambang di atas mendapat sanggahan dari pihak militer Indonesia yang menganggap lambang dan bendera tersebut merupakan lambang-lambang separatisme masa konflik lalu yang menelan ribuan jiwa rakyat Aceh. Pertimbangan faktor psikologis tampaknya lebih mendapat perhatian dari pihak militer dibandingkan dengan faktor-faktor politik bahkan pertahanan keamanan. Pernyataan Pangdam IM yang dengan tegas akan melarang pengibaran bendera GAM menjelang Hari jadi GAM 4 Desember mendatang, menunjukkan komitmen sekaligus konsistensi militer Indonesia dalam memelihara stabilitas dan perdamaian di Aceh. Namun demikian, tidak sama halnya dengan respon dari para mantan petinggi GAM seperti pernyataan Gubernur Aceh Zaini Abdullah yang menyebut bahwa Pangdam tak perlu campur tangan dalam hal politik Aceh. Kontroversi lambang dan bendera ini tentu dikhawatirkan dapat memancing konflik yang tentu saja akan merugikan kedua belah pihak dan pastinya kerugian terbesar akan dialami rakyat Aceh yang tidak tahu apa-apa.

Bagi saya sendiri, Lambang dan Bendera Aceh seharusnya mencerminkan faktor-faktor emosional sosiologis segenap rakyat Aceh dengan mempertimbangkan perjalanan sejarah Aceh khususnya masa-masa kejayaan Kesultanan Aceh yang gemilang. Sebagaimana harapan bahwa lambang dan Bendera Aceh dapat menjadi simbol perdamaian dan semangat rakyat Aceh yang tak terlepas dari masa-masa keemasan Kesultanan Aceh tentu dengan tetap memasukkan perkembangan terkini di Aceh. Saya melihat lambang dan bendera ACEH yang digagas DPRA tersebut, justru tidak mencerminkan harapan-harapan yang terdapat dalam sanubari rakyat Aceh. Namun lebih bersifat emosional kelompok eks kombatan GAM untuk mengagung-agungkan kelompoknya saja. Kita perlu ingat, bahwa tidak semua rakyat Aceh mendukung GAM semasa konflik lalu. Bendera dan Lambang yang diusulkan DPRA menurut saya justru menjadi simbol pemberontakan, konflik, korban jiwa, dan berbagai kesengsaraan yang dialami rakyat Aceh. Memang tentunya traumatis yang dialami rakyat Aceh tidak serta merta dialami juga oleh kelompok eks kombatan. Tetapi bukankah bendera dan lambang tersebut juga untuk rakyat Aceh secara keseluruhan bukan hanya untuk sebagian kelompoknya saja?

Saya juga berpendapat, bahwa DPRA selama ini tidak serius mewakili rakyat Aceh secara keseluruhan. Mereka seorang terdiam dan terlena dengan fasilitas dan kemewahan yang dihisap ari uang rakyat Aceh. DPRA belum menjalankan fungsinya secara optimal sebagai wakil rakyat Aceh, bukan wakil sekelompok penguasa. Sehingga pesan yang seharusnya disampaikan ke publik adalah jawaban dari aspirasi rakyat Aceh. Dalam hal ini, DPRA tidak belajar dengan baik dan bahkan malas mengerjakan PR-PR yang terkait dengan kesejahteraan rakyat Aceh. Terbukti, setiap  produk yang dikeluarkan oleh DPRA justru memicu kontroversi dan penolakan akibat tidak berpihak kepada kepentingan rakyat Aceh.

Harapan kita bersama tentunya adalah terciptanya perdamaian yang hakiki di Aceh tanpa adanya konflik yang membuat trauma rakyat Aceh selama ini. Kita bayangkan saja, andaikan bendera dan lambang itu tetap diajukan kepada Pemerintah Pusat, apa yang akan terjadi selanjutnya? akankah pemerintah pusat marah dan kembali mengirimkan tentaranya ke Aceh kembali? Naudzuubillah Min Dzaliik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun