Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sekadar Bicara Blak-blakan

4 Oktober 2017   02:41 Diperbarui: 4 Oktober 2017   14:52 879
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jenderal Gatot Nurmantyo. Sumber: The Telegram NNC Portal

Manusia merupakan mahkluk yang diberkati kemampuan mengingat apa saja. Meski tidak seperti komputer, untuk sekelas manusia sering lupa, pastinya mengingat hal-hal yang sifatnya dramatis dan penuh dialektika.

Memasuki era millenial, kisah Romeo dan Juliet seolah-olah tuhan baru untuk urusan percintaan. Untuk retorika doktrinisasinya, Kahlil Gibran masih jadi yang utama mengikut pujangga lainnya, tere liye misalnya atau penulis novel bergenre cinta dan asmara.

Tidak bisa dipungkiri, kemudian kisah yang terus hidup ini mengalir deras dalam kehidupan politik manusia. Mungkin kita masih mengenal sosok aristoteles untuk bukunya tentang politik, Marchiaveli dengan ideologi kerakyatan, Hitler dengan otoritarian sampai perjalanan hidup seorang Karl Marx tidak luput dari ingatan manusia.

Matinya dealiktika ini sepertinya sulit diperdiksi. Demikian dialektika politik saat ini, semua berjalan tanpa skrip. Solusi untuk hal semacam ini, butuh konsep melupakan semua yang telah terjadi lalu membangun yang baru. Hanya saja, solusi ini tidak punya dasar yang kuat. 

Kehidupan politik tak seperti kisah percintaan ataupun asmara belaka. Sang Jendral pernah menuturkan satu argumen yang membuat seantero nusantara sontak kaget setengah mati. Ditengah arus kebangkitan sejarah kelam 1965/66, Jendral malah berbicara terbalik. Ada apa? Partai komunis Indonesia (PKI) dengan sedugang kesimpang siuran sejarah, atas spirit optimisme sejarah kemudian ditampilkan ditengah masyarakat.

Alhasil, segerombolan komentar muncul ada yang ingin menjelekkan, membijaki dan mengiyakan. Usai sudah pembicaran soal 1965-66. Sekarang ini, ada 5.000 senjata yang membuat semua orang berfikir, mungkin Jendral sedang merancanakan sesuatu.

Semua yang dilakukan, tidak sedikit kritik untuk sang Jendral. Keterlibatan TNI dalam lingkaran politik nasional menuai pandangan bahwa TNI juga berpolitik. Baru-baru ini, seperti yang dilangsir media Kompas, Selasa (3/9/2017), Jendral menegaskan dirinya menerapkan politik negara, bukan politik praktis. Apa bedanya? Dalam pemahaman soal politik, pastiya bicara kekuasaan. Kekuasan tidak lagi dan tidak bukan, ada negara didalamnya. Lalu, apa artinya politik negara? Jendral mengemukakan politik negara mengacu bagaimana perintah dari negara itu sendiri. Digambarkan, TNI berada ditengah rakyat dan membela rakyat untuk menjaga NKRI sesuai instruksi kepada negara. Tapi yang perlu dipertanyakan, apakah Negara tidak ada politik? Pastinya ada.

Tapi, apa yang berbeda dari politik praktis. Bukan kah politik itu cenderung praktis. Kalau tidak praktis, bagaimana bisa politik itu hidup. Bagi saya, politik negara hanya ada dalam nurani seorang pegawai. Untuk TNI, politik kebangsaan yang perlu ditonjolkan, bukan negara. Dikhawatirkan, politik Negara bisa saja membatasi gerak ideologi TNI. Bahkan, bisa tidak ada gunanya.  

Akibat dari statement ini, saya ingin mengomentari beberapa ha. Pertama, isu yang masih hangat, Jendral dipersiapkan untuk memimpin kuri nomor 1 di Indonesia. Hampir setiap kunjungan di beberapa daerah, termasuk Kota Palu, masyarakat berteriak "01" sebagai kode bahwa dirinya layak memimpin bangsa ini.

Kedua, kemampuan Jendral memikat hati rakyat tidak bisa dipandang enteng. Setelah penampilannya diberbagai media, sering kali mewacanakan tentang kebangsaan. Alhasil, aroma simpatik pun datang silih berganti. Tidak tanggung-tanggung, figur Jendral ini pun kerap kali dijadikan meme disetiap wacana kebangsaan. Atas hal ini, apa mungkin sang Jendral mengkhawatirkan sesuatu yang mengancam ataukah sekadar blak blakan.

Ketiga, politik negara yang dimaksud ini hanya cara untuk mengimbangi konstalasi politik nasional yang kian memburuk. Terbukti, politik tidak mampu melahirkan demokrasi yang ideal, seperti yang dilangsir index demokrasi indonesia (IDI) 2016. Bisa jadi, peranan politik negara mampu berkolaborasi meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun