Mohon tunggu...
Rafif Aryatha
Rafif Aryatha Mohon Tunggu... Seniman - Mahasiswa

Politics

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bendungan yang Menenggelamkan Budaya di Poso

8 Januari 2022   15:10 Diperbarui: 8 Januari 2022   15:16 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Danau Poso terletak di Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah. Danau Poso merupakan salah satu Danau ketiga yang terdalam di-Indonesia maka danau tersebut dijadikan prioritas Nasional dengan segala lika-liku permasalahannya. Tak hanya itu danau poso juga merupakan danau tektonik yakni danau yang mampu merubah carapandang manusia dari stuktur bumi, dan potensi kekayaan alam yang kekayaannya biasa digunakan oleh para masyarakat sekitar untuk mencari mata pencaharian utama. Danau Poso memiliki Panjang 32km dan lebar 16 km dengan volume air diperkirakan sekitar 216 giga liter.

Pembagunan Nasional hendaknya dimaknai dengan perkembangan kesejahteraan masyarakat, padahal pada praktiknya banyak perusahaan maupun pemerintah yang tidak bertanggung jawab pada efek samping atau dampak pembangunan tersebut seperti hal nya pada Kabupaten Poso ini, PT Poso Energy menjadi kontrofersial dikarenakan banyak sawah disekitar perusahaan yang terendam dikarnakan meluapnya debit air. 

Direktur PT Poso Energy yakni Ahmad Kalla (saudara Yusuf Kalla) ini bergerak pada bidang PLTA. Pada Desember 2020 Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) poso mendapatkan somasi dari warganya, kegiatan tersebut dianggap menyebabkan kenaikan permukaan air dari danau sehingga menyababkan meredamnya areal persawahan sepanjang bulan april hingga saat ini, seluas 85 HE di desa Meko.

Adanya proyek PLTA di Poso ini, kita harus melihat 3 hal yang perlu di spotlight yaitu, Transaksi kepentingan antar kerjasama yang didalamnya terdiri hak dan kewajiban pemerintah Kabupaten Poso, yang kedua Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) pada tanah poso bersifat liberal dan pro pada pasar dan yang terakhir yakni Corporate Social Responsibility (CSR) dalam sumber dana pembiayaan proyek, berpotensi untuk merusak ekosostem. Kegiatan CSR ini seharusnya untuk guna menjalin hubungan perusahaan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, budaya, nilai dan norma masyarakat setempat, sebagaimana yang tertuang sebagai mandat Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perseroan Terbatas.

Pada sepanjang tahun 2020 hingga awal 2021 I Made Sadia sebagai petani asal desa Meko mengutarakan pendapat, "Yang pertama saya ada pinjam 15 juta, karena gagal saya tambah lagi karena perhitungan saya, panen kedua ini di situ saya bisa klop (lunasi) satu kali, akhirnya panen kedua gagal lagi," ia telah mengalami tiga gagal panen dalam penanaman padi pada tanah seluas satu hektar nya tersebut, yang disebabkan oleh kelalaian amdal pada PT Poso Energy. Sama seperti I Made Sadia, menurut keterangan bapak Yulius Molidja "Tahun 2020 kemarin kami sempat dua kali mengolah tapi gagal tidak bisa kami, mau hampir panen sudah meluap lagi air, kita panen di atas perahu, tidak mau diambil kasihan tanaman," Petani di desa Toinasa ini juga merasa dirugikan akibat luapan air danau yang membanjiri 98 hektar sawah milik 60 keluarga petani di desa Toinasa. 

Dikarenakan ia tidak bisa mengolah sawah yang seluas satu herktar nya, maka bapak Yulius kehilangan pendapatan senilai 34 juta rupiah sedari dua kali masa tanam pada lahan tersebut. Keluh bapak Yulius juga tidak kunjung menanam bibitnya akibat ia khawatir air naik secara tiba-tiba, padahal sejak Februari 2021 air sudah surut. PT Poso Energy selain melakukan hal-hal yang disebutkan diatas, ia pun melakukan pengerukan sungai selebar 4m serta kedalaman sampai 4-8 m. dengan aktifitas yang hampir dua tahun  ini malah merugikan masyarakat sekitar

Tanggapan Pemerintah Kabupaten Poso sebenarnya indisiatif cukup positif dikarenakan Pemerintahan Kabupaten tersebut telah membentuk tim mediasi yang diperuntukan dalam rangka mengambil jalur tengah terhadap konflik antar warga degan pihak PT Poso Enegy. 

Tim mediasi ini diketuai langsung oleh Wakil Bupati yakni Bapak Yasin Mangun dengan wakilnya Sekkab Yan Endwar Guluda. Tim tersebut diharapkan untuk segera bisa mengakhiri konflik persoalan warga dan perusahaan terkait dampak pembangunan proyek PLTA 1 Poso dan penataan danau yang sedang berjalan ini. Sekab (Sekertaris Kabupaten) Puso, dua persoalan penting yang tak kunjung hasil dan akan terus dimediasi oleh tim tersebut. 

Yakni masalah gantirugi lahan sawah dan lahan peternak lainnya yang terendam air karena luapan air danau. Namun sampai saat ini semua warga Poso yang terdampak luapan dari PLTA, belum kunjung ada ganti rugi. Masyarakat desa Poso menggangap mediasi ini hanyalah sebuah formalitas saja. Padahal menurut pengakuan warga setempat PT Poso Energy tidak pernah mensosialisasikan atau memberitahu tentang rancangan pembangunan maupun terkait kegiatan uji coba pintu air bendungan itu sendiri, diakibatkan nya hal ini warga tidak siap menghadapi banjir yang belahap kotanya.

Selain merusak ekosistem bumi, PT Poso Energy juga merusak situs budaya Masyarakat Adat yang di percayai sebagai tempat berlaksananya tradisi Mosango pada wilayah Kompodongi. Sementara itu Walhi Sulawesi Tengah dengan juru kampanyenya yakni Aulia Hakim menyebutkan bahwa "Pembangunan PLTA I Poso Energy adalah bentuk praktik nyata pemangku kebijakan dan kuasa modal melakukan pemiskinan secara berkelanjutan, terendamnya sawah ratusan hektare, dan pelanggaran yang dilakukan terhadap masyarakat adat danau poso merupakan fakta bahwa pembangunan ini tidak menjamin kesejahteraan malah merugikan masyarakat secara terus menerus." Menurut Walhi perusahaan ini melakukan kesalahan dari mulai penyalahgunaan dana CSR, merusak cagar budaya, maupun merugikan lahan pertanian dan peternakan banyak orang.

Menurut pandangan saya terhadap isu ini, seharusnya hal-hal yang terkait pada HAM (Hak Asasi Manua) wajib dipandang duluan atau di prioritaskan sebelum memandang faktor ekonomi suatu negara itu sendiri. Pemerintah dalam hal ini menjadi pertanyaan besar mengapa dana CSR yang sebesar ini diizinkan untuk hal yang tidak sesuai dengan definisi CSR itu sendiri dan juga mengancam ekosistem sekitar, cagar budaya dan lain sebagainya. Selain itu amdal abal-abal dalam pemerintahan seharusnya dibenahi dulu sebelum pembagunan dilaksanakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun