Mohon tunggu...
Rafif Anargya
Rafif Anargya Mohon Tunggu... Pelajar

Labscib

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Penggunaan AI Diam-Diam di Tempat Kerja, Apakah Termasuk Bentuk Kejahatan?

7 Oktober 2025   21:45 Diperbarui: 7 Oktober 2025   21:45 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

Bayangkan sebuah kantor modern di Jakarta, di mana karyawan tampak sibuk mengetik di depan layar komputer. Namun, di balik aktivitas itu, sebagian besar pekerjaan sebenarnya diselesaikan bukan oleh tangan mereka, melainkan oleh kecerdasan buatan. Laporan rapat, analisis data, hingga rancangan presentasi semua bisa selesai dalam hitungan menit berkat bantuan AI. Fenomena ini bukan sekadar tren global, tetapi sudah menjadi realitas sehari-hari di Indonesia. Hasil laporan Work Trend Index 2024 yang dirilis Microsoft dan LinkedIn menunjukkan bahwa 92% pekerja di Indonesia kini menggunakan AI untuk membantu menyelesaikan pekerjaan mereka, angka yang menegaskan betapa cepatnya teknologi ini meresap ke dunia kerja.

Menurut data dari HP Work Relationship Index (WRI), 

  • 44% pekerja intelektual di Indonesia merasa memiliki hubungan yang sehat dengan pekerjaannya. Angka ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata global yang hanya 28%.

  • 73% pekerja mengatakan bahwa AI membantu mempermudah pekerjaan mereka, dan hampir 69% sudah menyesuaikan penggunaan AI agar lebih produktif.

  • 76% karyawan merasa pekerjaannya sudah sesuai dengan preferensi mereka, sementara 87% percaya bahwa personalisasi pengalaman kerja akan menjadi hal penting di masa depan.

Para pekerja, menggunakan AI untuk menyelesaikan pekerjaan lebih cepat, mengurangi beban kognitif, dan meningkatkan kualitas hasil kerja, yang pada akhirnya mendorong produktivitas tanpa tercatat dalam metrik resmi perusahaan. Aktivitas ini mirip dengan konsep shadow economy dalam bidang ekonomi, di mana transaksi atau aktivitas ekonomi terjadi di luar sistem resmi dan pengawasan pemerintah.

Dalam konteks dunia kerja, fenomena serupa disebut Shadow productivity economy. Dimana pekerja secara diam-diam menggunakan AI pribadi di luar pengetahuan atau persetujuan resmi dari perusahaan untuk meningkatkan produktivitas kerja mereka. Karyawan menggunakan AI seperti chatbot generatif (misalnya ChatGPT), asisten coding (seperti GitHub Copilot), dan alat bantu pembuatan konten untuk mempercepat penyelesaian tugas dan meningkatkan kualitas hasil kerja mereka. Penggunaan ini dilakukan secara mandiri oleh karyawan sebagai inisiatif pribadi, tanpa pengawasan IT atau kebijakan perusahaan resmi, sehingga disebut sebagai aktivitas "shadow" atau tersembunyi.

Walaupun fenomena ini dapat membantu pekerja dalam peningkatan performa individu, pengurangan beban kerja, peningkatan kualitas output, serta mempercepat penguasaan keterampilan baru. Selain itu, AI membantu mengurangi kesenjangan keterampilan antar pekerja karena AI memberikan dukungan yang signifikan terutama bagi pekerja dengan performa di bawah rata-rata. Tetapi manfaat yang ada menghasilkan dampak negatif yang besar bagi perusahaan. 

Fenomena shadow productivity economy membawa berbagai dampak yang merugikan perusahaan. Salah satunya adalah ketidaktransparanan data produktivitas, karena penggunaan AI dilakukan secara tersembunyi sehingga tidak tercatat dalam sistem resmi. Kondisi ini juga menimbulkan risiko keamanan data, sebab alat AI yang dipakai tanpa pengawasan dapat membuka peluang kebocoran maupun penyalahgunaan informasi sensitif. Selain itu, terdapat masalah kepatuhan yang berpotensi melanggar regulasi, kebijakan internal, serta aturan terkait keamanan informasi, privasi, dan tata kelola perusahaan.

Di sisi lain, praktik ini dapat memicu inkonsistensi standar kerja, mengingat karyawan menggunakan alat dan metode berbeda tanpa koordinasi, yang akhirnya berdampak pada kualitas hasil serta efektivitas kolaborasi tim. Tidak kalah penting, muncul pula risiko terbentuknya budaya kerja yang tidak sehat, dengan adanya kesenjangan antara karyawan yang menggunakan AI dan yang tidak, sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan. Pada akhirnya, perusahaan juga mengalami kehilangan peluang strategis, karena tidak dapat mengelola atau mengintegrasikan AI secara optimal dalam proses kerja maupun pengembangan sumber daya manusia.

Berbagai risiko tersebut menunjukkan bahwa shadow productivity economy tidak hanya merugikan secara manajerial, tetapi juga berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum. Meski tidak selalu tergolong tindak kejahatan, penggunaan AI tanpa izin dapat melanggar kebijakan internal maupun regulasi seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) di Indonesia. UU ITE mengatur mengenai transaksi elektronik dan perlindungan data elektronik, termasuk larangan penyalahgunaan sistem elektronik, sedangkan UU PDP lebih fokus memberikan perlindungan komprehensif terhadap data pribadi warga negara, termasuk pengaturan terkait pengumpulan, penyimpanan, pengolahan, dan pengamanan data pribadi tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun