Mohon tunggu...
Bimo Rafandha
Bimo Rafandha Mohon Tunggu... Programmer, Blogger - Blogger. Storyteller.

Pemintal kata di www.bimorafandha.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mantan Jadi Teman? Memang Bisa?

18 Februari 2020   11:53 Diperbarui: 18 Februari 2020   11:49 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagaimana rasanya ketika ketemu mantan setelah sekian lama nggak pernah saling sapa?

Itu yang terjadi padaku dua minggu lalu. Saat menghadiri acara pernikahan sahabat baik, aku akhirnya bertemu kembali dengan seseorang yang pernah mengisi hari-hariku saat aku SMA. Sebetulnya, pertemuan itu sama sekali tidak aku sangka. Memang, sang mantan adalah sahabat baik temanku juga. Namun, kabar terakhir yang kutahu, ia sedang berada di luar kota. Jadi ketika ia tiba-tiba muncul, aku sedikit terkejut. Tapi juga senang...

Loh kok?

Bentar, sebelum ada yang berkomentar ini cinta lama belum kelar, sungguh jauh api dari panggangan. Bukannya mau mendahului takdir Tuhan tapi kok memang begitu keadaannya. Saat pertama kali melihatnya masuk ruangan resepsi, aku langsung melemparkan senyum. Ia pun membalasnya lalu menghampiriku bersama teman lain yang sudah menunggu, Tak ada kecanggungan yang terjadi meski status kami sebagai pacar dan mantan pacar. Teman-teman kami pun tak berkomentar banyak. Ya, gimana. Wong dia bawa pasangan.

Sikap kami yang 'santai' ini memang kadang menimbulkan banyak pertanyaan. Dulu, ketika dia dan aku berkumpul bersama dengan teman-teman lain buat sekadar nongkrong atau main, mereka banyak berkata, "Apa memang udah gak ada rasa?" Kala itu, kami tidak menjawab apa-apa. Hanya menarik ujung bibir, sambil melirik satu sama lain. Awal-awalnya memang canggung, namun sekarang itu sudah jadi kabar burung.

Jadi kenapa bisa demikian?

Sebelum menjawab pertanyaan 'kenapa?' mari kita kembali ke zaman-zaman aku sekolah. Di masa kelas tiga, aku dan dia bertemu karena sebuah ketidaksengajaan. Kami satu sekolah, benar. Tapi garis takdir kami tidak saling bersinggungan. Berada di kelas unggulan menempatkanku selama dua tahun berada dengan teman satu kelas yang sama. Selain itu pula, kegiatan ekstrakurikuler yang kuambil pun tidak memungkinkan kami bertegur sapa.

Dan di saat kelas tiga, lewat seorang teman, kami bertemu. Bermula dari teman-teman yang ingin ke danau di pinggir kota untuk piknik, kami dipertemukan. Dengan motorku, aku membonceng ia sore-sore sementara rombongan lain membonceng pasangannya masing-masing. Dari situlah kami banyak berbincang. Percakapan kala itu berlanjut lewat pesan singkat hingga beberapa bulan kemudian.

Ketika kami mantap menjalin hubungan, waktu SMA lagi padat-padatnya. Ujian nasional di depan mata. Pun masuk kuliah. Temanku yang juga temannya sampai memastikan, apakah memang yakin dengan segala pilihan? Sebab yang temanku tahu, masa-masa akhir sekolah itu adalah masa-masa ketika orang sibuk menentukan masa depan. Tingkat putusnya hubungan percintaan berbanding lurus dengan banyaknya ucapan "Aku mau fokus belajar."

Tapi, aku dan dia menjawab mantap, "Iya'. Tak ada ragu di antara kami. Mungkin ini cinta monyet seperti kata orang kebanyakan namun aku rasa ini adalah hubungan paling serius yang pernah kulakukan. Dan memang demikian. Hari demi hari, kami lewati seperti pasangan biasa. Layaknya anak SMA. Aku masih ingat, kala hari kasih sayang, kami merayakannya dengan sepotong kue yang basah diterpa hujan. Memori itu melekat kuat di ingatan.

Hingga pada akhirnya, tanpa kami sadari, persimpangan itu datang juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun