"Ingat, Boi, dalam hidup ini semuanya terjadi tiga kali. Pertama aku mencintai ibumu, kedua aku mencintai ibumu, ketiga aku mencintai ibumu." Kata Sabari kepada anaknya yang sudah besar (halaman 394)
Marlena memiliki wajah yang cantik nan indah untuk dipandang, ditambah lesung pipi yang ada membuat semua lelaki terkapar akan pesonanya. Marlena sendiri memiliki watak yang jauh berbeda dengan Sabari. Dia tidak pernah mau ambil pusing atas segala sesuatu. Dia ingin semuanya itu praktis dan mudah tanpa harus memikirkannya pusing-pusing.
"Kepribadian Lena yang tidak suka ambil pusing membuatnya mudah saja memutuskan bercerai dan oleh karena itu Markoni muntab luar biasa." (halaman 234)
Namun dibalik sifatnya yang demikian, ada sifat positif yang tentunya melekat di dalam diri Lena. Marlena adalah tipe orang yang sangat mandiri dan memiliki pendirian teguh. Hampir tidak ada yang bisa mempengaruhinya, bahkan ayahnya sekalipun. Â Â Â Â
"Tetapi, Lena adalah perempuan besi dengan pendirian yang lebih tegak dari pada tiang bendera di lapangan merdeka." (halaman 266)
Menjadi putra Marlena dan anak angkat tiri Sabari, Zorro menjadi pribadi yang menurunkan kombinasi dari kedua orang tuanya. Dia tampan dan rupawan seperti Marlena, serta berakhlak mulia, pintar, dan sabar seperti Sabari. Untungnya tidak terbalik. Dia memiliki pemikiran yang jernih dan bahkan sangat mulia, siswa seumurannya tidak ada yang memiliki pemikiran sebijak Zorro.
"Kata Zorro dia sengaja menurunkan nilainya, sengaja tak menjawab beberapa soal dalam ujian karena kasihan pada Imelda yang sangat ingin menjadi juara pertama." (halaman 258)
 Ukun dan Tamat adalah sahabat sejati yang selalu ada untuk Sabari, baik dalam kondisi senang, susah, bahkan saat Sabari sudah stress setelah ditinggal Lena serta direbutnya anak kesayangan Sabari bernama Zorro yang masih berusia tiga tahun. Mereka rela berkorba apapun demi sahabatnya Sabari. Bahkan mereka rela mencari Lena dan Zorro mengelilingi Pulau Sumatra dari ujung Utara sampai ujung Selatan hanya agar temannya Sabari tidak stres dan gila.
"Tolong jangan gila dulu. Biarlah kami mencari Lena dan Zorro dulu, tak ada keberatan dariku dan Tamat sebagai kawan -- kawanmu." Â (halaman 299) kata Ukun kepada Sabari sebelum mereka berangkat menuju Aceh untuk berkelana mengelilingi Sumatra mencari Lena dan Zorro.
Mengangkat latar di Kepulauan Belitung, banyak sekali gaya bahasa khas yang ditampilkan dalam novel ini. Fakta bahwa Andrea Hirata sendiri terlahir di Pulau Belitung membuat segala budaya dan suasana Belitung dapat merasuk dalam mudah di novel Ayah ini. Terutama hadirnya kata "Boi" dalam beberapa percakapan. Suasana pedesaan tahun 1990-an yang melekat di dalam novel ini membuat kita terpental kembali ke masa kanak-kanak kita. Terkadang saat membaca novel ini, pembaca dibuat tertawa atas beberapa kelakuan serta  guyonan jadul ala 1990-an.
"Si bungsu telah melihat betapa runyamnya kawin muda seperti yang dialami kakaknya. Setiap kali berjumpa, wajah kakaknya kusut masai macam pukat diterjang hiu. Tak ada hal lain yang keluar dari mulutnya selain keluhan. Dia puntak mau terlempar ke Karimun, tak ada kawan dan saudara di sana. Si bungsu ciut karena tahu ancaman ayahnya tak main-main. Lagi pula, perjodohan masih sangat biasa di Kelumbi." (halaman 28)