Mohon tunggu...
Radix WP Ver 2
Radix WP Ver 2 Mohon Tunggu... -

Saya seorang liberal-sekuler. Akun terdahulu: http://www.kompasiana.com/radixwp

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kelemahan Demokrasi

21 Januari 2012   19:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:36 10042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Di dunia ini, tidak ada sistem sempurna. Semua punya kelemahan, tak terkecuali sistem "adiluhung warisan nenek moyang" ataupun sistem yang diklaim sebagai "buatan Tuhan". Begitu juga dengan demokrasi, yang punya satu kelemahan besar. Apa itu? Untuk lebih jelasnya, mari kita mundur sejenak ke suatu negeri Eropa delapan dekade silam.

Seseorang bernama Adolf Hitler sedang mengincar kekuasaan tertinggi di Jerman. Mulanya, ia mencoba melancarkan kudeta. Aksi yang dikenal sebagai Munich Beer Hall Putsch tersebut gagal. Hitler sempat dipenjara. Dari situ, ia kemudian banting setir menempuh jalan demokrasi untuk meraih ambisinya.

Nama partai Nazi yang didirikannya merupakan singkatan dari "nasionalisme dan sosialisme". Penamaan tersebut semata untuk mencari simpati masyarakat, padahal Hitler sendiri sangat membenci sosialisme. Dalam semua pemilu yang diikuti, Nazi tak pernah meraih mayoritas. Hitler memanfaatkan sedikit suara yang diraihnya untuk melakukan berbagai intrik, dalam koridor demokrasi. Termasuk berkonspirasi dengan militer Jerman yang punya agenda politik tersendiri.

Tak berapa lama, Hitler kemudian diangkat menjadi kanselir Jerman, lewat proses yang legal dan demokratis. Tapi bagi Hitler, demokrasi ibaratnya tangga untuk naik ke atas. Ia ingin berada di atas sendirian. Karena itu, sesampai di atas, langkah berikutnya adalah membakar habis tangga tersebut. Kanselir Hitler pun memereteli semua instrumen demokrasi, menutup jalan bagi siapapun untuk mengawasinya, apalagi sampai menyaingi kekuasaannya. Dari kanselir, ia pun jadi fuehrer, pemimpin tertinggi yang absolut.

Kita semua tahu bagaimana kisah selanjutnya. Bagaimana Hitler kemudian menyeret segenap rakyatnya ke dalam suatu peperangan pahit yang membakar seluruh dunia. Jadi, kesengsaraan rakyat Jerman dan semua pihak lain dalam Perang Dunia II tersebut bermula dari suatu proses demokrasi yang dijalani oleh Nazi. Sejarah mencatat fakta tersebut.

Begitulah kelemahan demokrasi, yaitu memungkinkan munculnya pemimpin yang nantinya akan menginjak-injak demokrasi. Pemimpin yang menganggap demokrasi hanya alat demi ambisinya sendiri, yang akan memberangus demokrasi begitu ambisinya tercapai.

Pasca-Perang Dunia II, pemimpin culas seperti itu juga ada. Misalnya, Khomeini. Ia mendapat kepercayaan oleh rakyat Iran—yang agamis dan yang sekuler—untuk jadi pemimpin spiritual lewat pemilu pertama usai jatuhnya rejim shah. Tapi, ia kemudian mengkhianati demokrasi. Presiden Abolhassan Bani Sadr yang menang pilpres dengan suara telak, malah dipecat secara semena-mena.

Hingga sekarang, rakyat Iran masih terbelenggu. Mereka tidak bisa memilih pemimpin negara yang tidak sejalan dengan kepentingan politik para mullah. Kehidupan pribadi pun terkekang di berbagai segi. Rejim mullah—yang tak kalah kejam dibandingkan rejim shah—bersikap tegas terhadap gerakan demokratisasi, jauh lebih brutal ketimbang rejim Mobarak dalam menghadapi gerakan Arab Spring.

Sementara di sejumlah negara, muncul juga rejim tiran yang tak malu mencatut nama demokrasi. Rejim komunis Jerman Timur, yang mengurung rakyatnya sendiri dalam Tembok Berlin, menyebut diri Republik Demokratik Jerman. Atau contoh lain, rejim komunis Republik Demokratik Korea (Korea Utara) dengan rakyat kelaparan karena uang dihabiskan untuk senjata nuklir. Jadi, adanya pemilu atau nama "demokratik" tidak lantas berarti negara tersebut demokratis.

Kembali ke munculnya tiran lewat proses demokrasi, masyarakat internasional sebenarnya punya solusi untuk mengatasi kelemahan tersebut. Solusinya adalah konsep Deklarasi Universal HAM 1948 ( http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/17/definisi-ham-yang-sejati ). Dalam konsep ini, seberapapun besarnya suara mayoritas, takkan pernah boleh mengusik hak asasi pihak minoritas. Sebagai contoh, meski dikehendaki oleh 99,9% warga suatu negara dalam suatu proses legal, tak boleh ada keputusan untuk menghapuskan pemilu, karena bertentangan dengan hak politik dari 0,1% warga.

Di negara-negara maju, konsep tersebut bisa berjalan. Tidak ada orang yang mampu jadi diktator lewat proses demokrasi. Rakyat, sebagai aktor utama demokrasi, selalu menjaga agar hasil proses demokrasi tidak akan membahayakan kelangsungan demokrasi itu sendiri.

Nah, bagaimana dengan Indonesia? Pada periode 1959-1998, kita pernah kehilangan demokrasi. Sekarang, kita dalam tahap belajar menerapkannya kembali. Demokrasi butuh komitmen dari kebanyakan rakyat. Dan komitmen tersebut hanya bisa terbentuk jika ada kesadaran bahwa demokrasi merupakan sistem terbaik di antara semua sistem yang ada.

Bagi masyarakat yg sangat plural spt Indonesia ini, tidak ada sistem yang lebih baik ketimbang demokrasi. Keunggulan demokrasi sangat nyata dan tangible. Tidak seperti salah satu sistem lain, yang diklaim "pasti sempurna karena konon buatan Tuhan". Mengenai kelemahan demokrasi, kita bisa mengatasinya dengan kewaspadaan dan sikap kritis. Sejumlah contoh di atas mestinya bisa mengajarkan kita untuk berhati-hati terhadap pihak-pihak "serigala berbulu domba" yang komitmennya terhadap demokrasi layak dipertanyakan.

Surabaya, Januari 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun