Setelah hampir 2 bulan vakum menulis di Kompasiana, akhirnya saya kembali menulis di platform ini. Menggenapi postingan artikel ke-100 di Kompasiana, kali ini saya ingin menuliskan sesuatu yang sudah lama menjadi kegelisahan di hati saya. Hal apakah? Pembajakan buku! Tapi, pembajakan buku di sini, berupa e-book yang dibajak secara ilegal dan disebarluaskan dengan mudahnya di grup-grup Whatsapp. Atau bahkan ada yang memanfaatkan peluang, para orang-orang yang tak bertanggungjawab tersebut, tak hanya membuat e-book bajakannya versi PDF, tapi dia juga turut memperjualbelikannya. Sangat miris!
Kegelisahan ini, bukan hanya dirasakan saya sebagai seorang penulis pemula, tapi hal ini juga dirasakan oleh banyak rekan-rekan saya sesama penulis. Seperti Almira Bastari, penulis mega bestseller "Resign!" dan kawan-kawan penulis lainnya.
Beberapa bulan yang lalu, sebuah pesan masuk di Whatsapp grup saya, anggota Whatsapp grup yang saya ikut bergabung di dalamnya memang berbeda-beda profesinya. Ada yang sesama penulis, ada yang pengusaha, ada yang masih mahasiswa, tapi memang kami mempunyai passion yang sama di bidang kepenulisan. Lalu, salah satu anggota grup di Whatsapp kami pun ada yang mengirim e-book ilegal dari karya-karyanya Tere Liye.Â
Tak hanya sampai di situ, di grup Whatsapp lain pun di mana saya menjadi anggota di dalam grup tersebut, banyak yang mengirim ebook ilegal tak hanya buku Tere Liye, tapi buku karya dari Andrea Hirata, Pidi Baiq, Boy Candra, Ahmad Fuadi, dan berbagai novelis terkenal Indonesia kerap dibagikan secara "mudahnya" di dalam grup Whatsapp tersebut.
Saya sangat geram, kerap kali di grup Whatsapp yang harusnya diisi dengan materi-materi tentang kepenulisan, justru dijadikan ajang untuk menyebarkan link-link ebook ilegal.Â
1. Memikirkan ide
Modal utama penulis hingga bisa menghasilkan karya sebuah buku adalah ide. Dan saya yang penulis masih amatiran ini pun merasa, nyari ide itu susah luar biasa. Semakin original ide yang keluar dari kepalanya, maka nilai tulisannya akan semakin mahal dan berharga.
Penerbit-penerbit besar di Indonesia sudah pasti hanya akan menerbitkan buku dengan ide-ide yang unik yang belum pernah ada di pasaran sebelumnya dari para penulis. Bahkan ada yang sampai begadang ketika menulis naskah sebuah buku karena memang menurut sebagian besar penulis buku, golden time penulis adalah sewaktu malam hari.
Saya pernah membaca tulisan dari Raditya Dika, yang intinya, dia pun terbiasa menulis buku itu dimulai pukul 11 malam sampai jam 3 pagi. Sungguh perjuangan yang tidak main-main yang dilakukan para penulis-penulis Indonesia.
2. Memikirkan premis
Nah setelah ide ini ada, selanjutnya adalah perjuangan para penulis buku untuk menghasilkan sebuah naskah buku adalah membuat premis. Premis itu bisa diartikan sebagai acuan, agar tulisan yang kita buat dalam naskah nanti terfokus dan tidak akan melebar ke mana-mana. Antara premis genre (naskah) buku nonfiksi dan genre buku fiksi berbeda. Buku nonfiksi itu seperti buku kumpulan kisah atau buku-buku motivasi, sedangkan buku fiksi itu adalah buku novel.