dokumen pribadi
Penulis : (Rachmad Oky,SH,MH/ Ketua Departemen HTN Fakultas Hukum Unilak/ Peneliti LAPI HUTTARA)
Rakyat Indonesia telah melewati perhelatan besar demokrasi pada tanggal 14 Desember 2024 yang lalu, yang menarik bagi rakyat tentunya menunggu hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres).
Tidak perlu menunggu lama, hasil Quick Count telah menyajikan kemenangan bagi pasangan Prabowo-Gibran (02) yang unggul dari pasangan Anies-Muhaimain (01) dan Ganjar-Mahfud (03).
Tentu hasil dari perhitungan Quick Count tersebut tidak mendapatkan tempat bagi pihak yang tidak memperoleh hasil suara mayoritas. Dalil yang lazim dikeluarkan oleh pihak yang kalah adalah "Kecurangan Pemilu".
Diksi "kecurangan" dalam pemilu bukan barang baru, mengingat Mahkamah Konstitusi (MK) telah berlangganan tetap untuk menyelesaikan perkara Pemilu. Dalam Pilpres 2014 dan 2019, MK telah menolak pembuktian kecurangan pemilu yang dimohonkan oleh pihak yang kalah.
Situasi semakin meruncing semenjak Real Count diumumkan oleh KPU yang menegaskan kemenangan ada pada kubu Prabowo-Gibran, tentu hal itu membuat pasangan "Amin" dan pasangan "Ganjar-Mahfud" tidak tinggal diam melihat situasi Pemilu yang tidak normal.
Tim Hukum Anies tetap dengan pendiriannya  yang memasukkan Permohonan persengketaan Pilpres ke MK pada tanggal 21 Maret  2024, permintannya tesebut agar MK bisa memutus dengan amar putusan Pemilu ulang karena proses pemilu tidak jujur dan adil.
Tidak lama berselang dari Tim Hukum Anies, Tim Hukum Ganjar-Mahfud juga memasukkan permohonan persengketaan hasil Pemilu ke MK dengan harapan Pemilu diulang dengan mendiskualifikasi pasangan Prabowo- Gibran.
Melihat peta kemenangan telah nyata dalam genggaman Prabowo-Gibran, lalu apakah nantinya MK mengabulkan permohonan yang diajukan Tim Anies dan Tim Ganjar-Mahfud? atau justru mempertegas keputusan KPU?
Penyelesaian persengketaan hasil pemilu Pilpres dilaksanakan secara "Speed trial" yang hanya menggunakan waktu selama 14 hari, proses pembuktian kecurangan Pemilu harus dilakukan secara cepat. Sementara para pihak yang terlibat adalah para pasangan calon Presiden yang merasa memiliki hak untuk maju pada putaran kedua atau merasa memiliki hak sebagai pemenang pemilu. Dengan demikian ini diketegorikan sebagai Pemohon.