Indonesia secara resmi mulai menerapkan pajak karbon sejak tahun 2022 sebagai bagian dari upaya menuju ekonomi rendah emisi. Langkah ini sejalan dengan tren global, di mana negara-negara mulai menaruh harga atas emisi karbon sebagai cara untuk menekan polusi dan mendorong transisi ke energi bersih. Namun, dengan tarif yang sangat rendah dan cakupan sektor yang masih terbatas, muncul pertanyaan penting: apakah pajak karbon di Indonesia sudah cukup kuat untuk mendorong perubahan nyata?
1. Berapa Tarif dan Siapa yang Sudah Membayar?
Tarif pajak karbon di Indonesia saat ini ditetapkan sebesar Rp30 per kilogram COe atau sekitar Rp30.000 per ton. Kebijakan ini berlaku pertama kali untuk PLTU batubara dengan emisi di atas batas yang ditentukan dalam cap-and-trade scheme.
Sejak diberlakukan, berdasarkan data dari Bursa Karbon Indonesia (IDX Carbon), sudah terjadi perdagangan emisi karbon dengan harga rata-rata sekitar Rp55.000 per ton COe. Meski nilai ini lebih tinggi dari tarif dasar pajak, total kontribusi yang terkumpul secara nasional masih sangat kecil dibanding target penurunan emisi Indonesia. Pada tahun pertama implementasi, nilai pungutan karbon yang berhasil dihimpun diperkirakan hanya sekitar Rp100 miliar, angka yang jauh dari kebutuhan investasi energi bersih nasional yang mencapai triliunan rupiah per tahun.
2. Mengapa Tarif Ini Dinilai Terlalu Lemah?
Beberapa alasan utama mengapa tarif pajak karbon Indonesia dianggap belum cukup mendorong transisi energi antara lain:
Cakupan sektor yang terbatas, hanya menyasar PLTU, belum mencakup transportasi, industri, atau bangunan
Tarif yang terlalu rendah, setara dengan USD 2 per ton, padahal rata-rata global berada pada kisaran USD 30--50 per ton
Tidak ada eskalasi otomatis, sehingga nilai pajak karbon tetap meski inflasi naik
Subsidi energi fosil masih tinggi, menjadikan energi bersih tetap kalah kompetitif dalam harga