Setiap tahun, 21 April datang dengan warna-warna indah: anak-anak perempuan memakai kebaya, kantor-kantor mengadakan lomba bertema "perempuan inspiratif", dan media sosial penuh kutipan klasik dari surat-surat Kartini. Namun yang patut kita tanyakan hari ini bukanlah seberapa sering nama Kartini disebut, tetapi seberapa besar perjuangannya dipahami---dan lebih penting lagi, dilanjutkan.
Kartini tak pernah hanya bicara soal pendidikan perempuan. Ia menulis tentang ketidakadilan sosial, tentang kekuasaan yang korup, tentang dominasi kolonial, dan tentang sistem yang mengekang perempuan secara struktural. Ia bukan sekadar sosok yang "lembut dan bijak", seperti yang kerap dibayangkan buku-buku pelajaran, melainkan seorang pemikir progresif yang berani menyuarakan kegelisahannya terhadap dunia yang timpang.
Lalu, apakah kita benar-benar telah melanjutkan perjuangannya? Atau justru menjadikan Kartini sebagai simbol yang dijinakkan untuk menutupi kegagalan kita menjawab tantangan perempuan hari ini?
Realitas Perempuan: Ketimpangan yang Tak Pernah Usai
Meski kita hidup di abad ke-21, realitas perempuan Indonesia masih jauh dari cita-cita emansipasi. Kekerasan terhadap perempuan terus meningkat. Catatan Komnas Perempuan pada tahun 2024 mencatat lebih dari 470 ribu kasus kekerasan berbasis gender. Angka ini hanyalah puncak gunung es, karena sebagian besar perempuan masih takut, malu, atau bahkan tidak tahu ke mana harus mengadu.
Di sisi lain, sistem hukum kita belum mampu menjamin perlindungan yang layak. Korban seringkali harus membuktikan diri berkali-kali, menjalani proses hukum yang traumatis, bahkan menghadapi reviktimisasi dari aparat dan masyarakat. UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual memang telah disahkan, namun masih lemah dalam implementasi. Belum lagi kita bicara soal RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang tertunda lebih dari dua dekade. Apakah perempuan yang bekerja tanpa jam kerja tetap, tanpa jaminan sosial, dan tanpa upah layak, masih belum cukup untuk dianggap warga negara yang perlu dilindungi?
Kartini mungkin akan marah jika tahu, bahwa di negeri yang mengaku menghormatinya, ribuan perempuan masih harus menempuh jarak berkilo-kilo hanya untuk melahirkan karena fasilitas kesehatan tidak tersedia. Ia mungkin kecewa karena suara perempuan di DPR hanya memenuhi kuota 30%, tapi kebijakan yang berpihak pada perempuan nyaris tak terlihat.
Perempuan sebagai Simbol, Bukan Subjek
Budaya kita punya cara tersendiri dalam menjinakkan perlawanan: menjadikannya simbol. Lihat bagaimana Kartini dikemas: dalam sosok yang manis, anggun, dan ideal. Seakan-akan keberaniannya melawan struktur sosial bisa disamakan dengan sekadar memakai kebaya dan berbicara lembut. Padahal, surat-surat Kartini penuh kemarahan, ironi, dan kritik tajam terhadap budaya patriarki.
Hal yang sama terjadi hari ini. Perempuan dikutip, dipuji, ditampilkan di panggung-panggung perayaan---selama tidak bicara terlalu keras, selama tidak menyinggung kekuasaan, selama tidak mengganggu kenyamanan sistem. Perempuan boleh sukses, asal tidak "melawan." Perempuan boleh pintar, asal tidak "menantang." Perempuan boleh tampil, asal tetap "patuh pada norma."