Mohon tunggu...
Hedi Rachdiana
Hedi Rachdiana Mohon Tunggu... Konsultan - www.facebook.com/hedi.rachdiana

www.facebook.com/hedi.rachdiana http://hedirachdiana.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kenapa Tuhan Menciptakan Kita??

9 Februari 2011   03:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:46 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

KITA sebagai MANUSIA (umumnya), jika pertanyaannya kenapa Tuhan menciptakan MANUSIA, walau jawabannya klasik ialah untuk ibadah. Namun, ibadah haruslah dipahami bahwa pengertiannya yang sangat luas, bukan hanya ritual sholat, puasa, haji dalam rukun Islam saja, tetapi makna esensinya adalah MENJADI KHALIFAH, yaitu menjadi pemimpin/pengayom/pengendali/penjaga penghuni alam dunia ini agar tetap terjaga kelangsungan eko sistemnya.
Barangkali pertanyaan sulitnya adalah kenapa Tuhan menciptakan manusia secara pribadi/individu, mis kenapa "SAYA" diciptakan menjadi seorang laki2?, kenapa Tuhan menciptakan "SAYA" jadi seorang perempuan?, dst, dst.
Inilah bagian rahasia Tuhan, dimana KITA (manusia umumnya) belum bisa menjangkau eksistensi keberadaan "SAYA" itu, selain kita hanya diwajibkan menjalankan SUNATULLAH, yakni menjalankan fungsi "SAYA" sesuai fitrahnya.
Sebagai gambaran pertanyaan di atas, akan terkuak rahasianya ketika kita telah mencapai zuhud. Seorang yang zuhud (mis para nabi, atau orang2 soleh) akan memahami esensi dan eksistensi dirinya.

Sebagai referensi barangkali tulisan ini akan menjawab pertanyaan dimaksud:

HAKIKAT MANUSIA

Dari: Manusia Menurut Al-Ghazali

Oleh:Dr. Muhammad Yasir Nasution
Ungkapan hakikat manusia mengacu kepada kecenderungan tertentu memahami manusia. Hakikat mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah, yaitu identitas esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya sendiri dan membedakannya dari yang lainnya. Ungkapan ini menandai satu kecenderungan di dalam filsafat yang menganggap manusia memiliki definisi pra-ada tentang kemanusiaannya. Definisi pra-ada itu adalah esensi yang dibedakan secara jelas dari eksistensi. Dalam pandangan ini, kelihatannya, esensi lebih penting daripada eksistensi.

Al-Ghazali menggunakan berbagai term untuk esensi manusia. Selain al-nafs (jiwa), ia juga menyebutnya al-qalb, al-ruh, dan al-‘aql. Ia menyebut keempat term itu sebagai al-alfazh al-mutaradifat (kata-kata yang mempunyai arti yang sama).

Esensi manusia menurut al-Ghazali, adalah substansi immaterial yang berdiri sendiri, bersifat ilahi (berasal dari alam al-amr), tidak bertempat di dalam badan, tidak bersifat sederhana (basithat), mempunyai kemampuan mengetahui dan menggerakkan badan, diciptakan (tidak qadim), dan bersifat kekal pada dirinya. Ia berusaha menunjukkan bahwa keberadaan jiwa dan sifat-sifat dasarnya tidak dapat diperoleh melalui akal saja, tetapi dengan akal bersama syara’. Untuk itu, ia mengutip salah satu ayat dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan itu, antara lain, sebagai berikut:

“jangan engkau sangka orang-orang yang terbunuh pada jalan Allah itu mati; mereka itu hidup dan diberi rezeki di sisi Tuhan mereka”.

Penggunaan term-term yang empat itu untuk menunjuk esensi manusia, mungkin sekali didasari kemungkinan mempertemukan konsep-konsep filsafat, tasawuf dan syara’ (sumber-sumber ajaran Islam). Sebab, term al-nafs dan al-aql sering digunakan para filosof, sedangkan al-ruh dan al-qalb sering digunakan para sufi. Di dalam al-Qur’an, al-ruh, al-nafs dan al-qalb dipergunakan untuk istilah kesadaran manusia.

Sebagaimana di dalam buku-buku filsafatnya, di dalam buku-buku tasawufnya dijumpai juga pandangan bahwa jiwa itu kekal. Jiwa tidak akan hancur, tidak akan mati, ia berpisah dari badan. Badan hancur dengan jalan terjadinya dekomposisi tetapi jiwa tetap kekal, karena ia bukan komposisi dalam bentuk apapun.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa esensi manusia adalah substansi yang berdiri sendiri, berasal dari dunia yang sangat dekat dengan Tuhan (alam al-amr), tidak bertempat, tidak terbagi-bagi, mempunyai kemampuan mengetahui, bersifat kekal, dan diciptakan. Dengan pandangan ini al-Ghazali telah berbeda dengan mutakallimun yang pada umumnya menganggap jiwa manusia aksidens atau materi yang halus, berdimensi, bertempat, berfikir, mampu membedakan dan mengatur badan. Ia berbeda pula dengan penganut lainnya (hylomorphisme) yang menganggap jiwa adalah bentuk (form) dari badan (materi). Pandangan mutakallimun dan hylomorphisme dapat membawa kesimpulan ketidakkekalan jiwa, yang menurut al-Ghazali, akan meruntuhkan salah satu sendi keimanan, yaitu kepercayaan tentang adanya hari akherat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun