Dalam beberapa kesempatan bertatap muka dan berbincang dengan Ganjar Pranowo, selalu terasa jelas aura milenial dalam topik pembicaraan dan juga pembawaannya.Â
Perjumpaan terakhir terjadi di sela-sela kunjungannya ke Bali untuk meresmikan Markas KAGAMA Bali. Pada kesempatan itu dia juga menyempatkan diri mengunjungi dan meresmikan kampung bambu.
Saya kerap memberi perhatian pada pembawaan Ganjar yang kasual dan tidak terpaku pada formalitas, perhatiannya pada masyarakat kecil dan pembangunan ramah lingkungan.Â
Di sela-sela acara peresmian kampung bambu, dia mengutarakan pandangannya akan pentingnya konservasi. Bambu menurutnya merupakan tanaman yang mudah dirawat tetapi memiliki banyak fungsi dari bahan bangunan hingga anyaman aneka perkakas.
Karena itu Ganjar mendukung pelestarian hutan bambu seluas 125 Ha di Jatiluwih yang diinisiasikan oleh ketua KAGAMA Bali Agung Diatmika.Â
Ganjar berpesan kepada KAGAMA Bali untuk mengawal pelestarian hutan bambu tersebut dan membantu masyarakat memaksimalkan fungsinya untuk mendukung perekenomian.
Pandangan serupa juga disampaikan Ganjar dalam dialog dengan masyarakat di sekitar bukit bambu di Bangli dalam wkatu terpisah. Pandangan seperti ini sungguh khas milenial.Â
Alih-alih mempromosikan bahan-bahan modern yang serba pabrikan, Ganjar tertarik mendukung industri lokal berbahan lokal dan mengandalkan kearifan lokal. Dengan cara itu, konservasi alam dapat beriringan dengan penguatan ekonomi masyarakat.
Dapat dipahami kemudian ketika seorang kepala desa di Bangli mengusulkan nama Ganjar menjadi nama sebuah hutan bukit bambu setelah Ganjar mengadakan dialog massal dengan masyarakat di sekitar hutan bambu di sela-sela kunjungannya.Â