Â
Oleh:
Putri Dwi Arini
Ana Zahrotunnisa
Universitas Brawijaya
Sudahkah Anda memperhatikan kandungan gizi pada makanan yang Anda konsumsi? Ada banyak gangguan kesehatan yang dapat disebabkan karena pola makan yang tidak sehat, salah satunya adalah diabetes melitus. Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit tidak menular dengan gangguan metabolisme tubuh yang menahun akibat hormon insulin yang tidak dapat berfungsi secara efektif dalam mengatur keseimbangan gula darah (Febrinasari et al., 2020). Kondisi ini menyebabkan konsentrasi kadar gula dalam darah seseorang meningkat. DM juga dapat disebabkan karena resistensi insulin yang menyebabkan glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga terjadi kondisi hiperglikemia dalam darah.
Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit yang sangat umum terjadi di masyarakat Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan laporan dari WHO yang menyatakan bahwa penderita DM di Indonesia mengalami kenaikan dari 8,4 juta jiwa pada tahun 2000 dan diperkirakan akan menjadi 21,3 juta jiwa pada tahun 2030. Tingginya angka tersebut, membuat Indonesia berada di peringkat ke-4 sebagai negara dengan jumlah penderita DM tertinggi di dunia setelah India, Cina, dan Amerika  (Muhammad, 2018). Namun, hingga saat ini masih banyak penderita DM yang enggan mengobati penyakitnya dengan menggunakan metode pengobatan yang sudah ada, seperti terapi insulin, konsumsi obat antidiabetes, maupun operasi. Hal ini dikarenakan, metode-metode tersebut masih menimbulkan efek samping yang kurang nyaman bagi penderita DM.
Salah satu penelitian yang dilakukan pada tahun 2017 oleh Jurusan Farmasi Universitas Brawijaya, ditemukan sebanyak 27 orang pasien yang menerima terapi obat antidiabetes golongan biguanid yakni Metformin. Efek samping yang timbul setelah mengonsumsi obat ini berupa rasa mual yang dirasakan oleh empat orang pasien, pusing pada tiga orang pasien, dan tremor pada seorang pasien (Putra et al., 2017). Selain Metformin, penggunaan obat antidiabetes yang juga menimbulkan efek samping adalah Glibenklamid. Penggunaan obat ini menimbulkan efek samping berupa hipoglikemia pada tiga orang pasien, konstipasi pada dua orang pasien, dan tremor pada seorang pasien (Putra et al., 2017). Semakin maraknya ditemui kasus obat antidiabetes yang menyebabkan efek samping, membuat kekhawatiran masyarakat kian memuncak.
Kekhawatiran ini membuat masyarakat mulai mencari metode pengobatan lain yang dapat meminimalisir efek samping bagi penderita DM. Salah satu tanaman yang dapat menjadi obat alternatif untuk menurunkan kadar gula darah penderita DM adalah kecambah brokoli. Kecambah brokoli merupakan sebutan untuk tanaman brokoli yang masih berumur tiga sampai empat hari. Kandungan komponen bioaktif dan indeks glikemik yang rendah membuat brokoli sering dimanfaatkan untuk obat herbal dalam mengatasi berbagai macam penyakit termasuk DM.
Sebenarnya, brokoli dewasa memiliki kandungan vitamin dan mineral yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kecambah brokoli. Namun, kandungan komponen glucoraphanin pada kecambah brokoli jauh lebih tinggi, bahkan dapat mencapai 10 hingga 100 kali lebih tinggi dari brokoli dewasa (Sinaga, 2016). Selain kandungan komponen glucoraphanin yang tinggi, penggunaan kecambah brokoli dirasa lebih mudah dan lebih terjangkau harganya. Dalam budidayanya, kecambah brokoli tidak memerlukan perawatan yang khusus dan biaya yang tinggi.
Analisis fitokimia yang terkandung dalam kecambah brokoli dengan nama ilmiah Brassica oleracea var.italica adalah komponen tidak aktif glucoraphanin yang dapat ditemukan di bagian vakuola dalam sitoplasma sel dan enzim myrosinase yang di membran sel kecambah brokoli (Sinaga, 2016). Kedua komponen ini, ketika bergabung akibat mengalami kerusakan jaringan akan bertransformasi menjadi komponen aktif sulforafan (Sinaga, 2016). Komponen aktif inilah yang akan digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan obat herbal antidiabetes dari ekstrak kecambah brokoli. Mekanisme dari komponen sulforafan dalam menurunkan gula darah pada penderita DM adalah dengan meningkatkan aktivitas Nrf2 (Nuclear factor E2-related factor-2) (Wulandari & Wirawanni, 2014).