Mohon tunggu...
Putri Silvia
Putri Silvia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aku Bisa

Lebih baik mencoba daripada tidak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Budaya Rebo Wekasan

20 April 2021   19:55 Diperbarui: 20 April 2021   20:13 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan adalah tradisi yang tidak asing dimasyarakat terutama bagi masyarakat yang tinggal didaerah perdesaan dan pesisir pantai. Sebagian masyarakat percaya bahwa pada rebo wekasan bala dari Tuhan diturunkan. Beragam ritual agama dilakukan mulai sholat tolak bala' dan minum air rajah demi menolak bala yang jatuh pada hari itu. Tradisi rebo wekasan sendiri sudah turun temurun dikalangan masyarakat Jawa, Sunda, Madura, dan lain-lain. 

Rebo Pungkasan berarti "yang terakhir" yang dimaksud dari rebo pungkasan memang rabu terakhir yang ada di bulan shafar yaitu bulan kedua dalam kalender hijriah. Sedangkan versi rebo wekasan artinya lebih mengarah pada isi yang harus kita lakukan pada hari rabu itu. Karena wekasan sendiri memiliki arti "pesanan" dan ini bisa diartikan bahwa hari rabu pada bulan shafar tidak sama dengan hari rabu lainnya. Hal ini dikarenakan para sesepuh selalu mewanti-wanti (berpesan) agar berhati-hati pada hari rabu wekasan.

Sejarah awal mula rebu wekasan bisa jadi karena anjuran dari Syekh Ahmad bin Umar ad-Daibari (w.1151 H) dalam kitab Fathul-Malik al-Majid al-Muallaf li Naf'il-'Abid wa Qam'i Kulli Jabbarin 'Anid, atau yang lebih populer dengan nama "al-Mujarrabat ad-Dairabi al-Kabir". Dalam kitab itu dijelaskan bahwa ada seorang al-'Arif Billah (waliyullah) yang mendapatkan ilham, bahwa pada tiap tahun Allah akan menurunkan sebanyak 320.000 bala (musibah). Bala itu diturunkan pada hari rabu terakhir dibulan shafar. Karena itu perlu dilakukan shalat guna menolak bala tersebut. Anjuran yang nyaris serupa juga terdapat dalam kitab Al-Jawair al-Khoms, 

Syech Kamil Fariduddin as-Syukarjanji dihalaman ke 5, disebutkan pada tiap tahun hari rabu terakhir di bulan shafar, Allah akan menurunkan 320.000 bala bencana ke muka bumi. Hari itu akan menjadi hari-hari paling sulit diantara hari-hari dalam satu tahun. Dalam kitab tersebut, disunnahkan kita untuk mendirikan shalat pada hari tersebut sebanyak 4 rakaat dimana setiap rakaatnya membaca surat al-fatihah, dan surat al-kautsar 17 kali, kemudian al-ikhlas 4 kali, surat al-falaq dan an-naas masing-masing satu kali.

Namun apabila ditelusuri lebih lanjut, kepercayaan dan tradisi rebo wekasan sudah populer dari sebelum abad dua belas hijriah, di mana syekh ad-Dairabi hidup. Sepertinya keyakinan bahwa pada hari rabu itu memang tersimpan kesialan-kesialan tertentu memang sudah tumbuh subur jauh sebelum itu. Pernyataan ini bisa diperkuat dengan adanya hadist yang sudah beredar dikalangan masyarakat islam yang berkaitan dengan keyakinan seperti itu, Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: "Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya malapetaka diakhir bulan shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati itu rohnya menjadi burung yang terbang." (HR. Bukhari dan Muslim). Menurut al-Hafizh Ibn Rajab al- Hanbali, hadis ini merupakan respon Nabi terhadap tradisi yang berkembang dimasa jahiliyah. Maksud hadist ini,orang-orang jahiliyah meyakini datangnya sial pada bulan shafar. Maka Nabi membatalkan hal tersebut. Sampai saat ini banyak orang awam yang meyakini datangnya sial pada bulan shafar, dan terkadang melarang berpergian pada bulan itu. Meyakini datangnya sial pada bulan shafar termasuk hal yang dilarang.

Amalan yang biasa dilakukan masyarakat saat rabu wekasan pun berbeda-beda tergantung kepercayaan pada daerah masing-masing. Pertama, doa. Masyarakat berkumpul untuk berdoa (dzikir bersama) Doa-doa yang biasa dibaca adalah do'a untuk memohon diselamatkan dari berbagai macam penyakit dan cobaan-cobaan. Kedua meminum dan mandi air azimat. Air azimat biasanya didalamnya terdapat tulisan khusus biasanya tulisan ini ditulis oleh ulama atau kiai sekitar lalu direbus bersama air tawar dan didoakan bersama-sama oleh para masyarakat. Air ini kemudian dibagi-bagi untuk diminum dengan tujuan diselamatkan dari bala' yang diturunkan pada waktu itu dan sebagian lagi dituang kedalam sumur dan digunakan untuk mandi besar dengan niat dapat membersihkan jiwa yang ada menjadi bersih tidak terkena penyakit karena semua penyakit luntur mengikuti air yang mengalir. Ketiga bersedekah. Masyarakat biasanya membuat makanan kemudian diberikan pada tetangga atau membawanya ke musholla atau masjid, untuk dimakan bersama-sama. Sebab bersedekah memang bisa menjadi penolak bala'. Keempat melakukan sholat sunnah.

Hukum melaksanakan shalat sunnah dalam rebo wekasan jika diniati secara khusus, maka hukumnya tidak boleh, karena dalam islam sendiri tidak pernah mengenal istilah shalat bernama rebo wekasan. Tetapi jika niatnya adalah shalat sunnah mutlaq atau sholat sunnah hajat, maka hukumnya boleh-boleh saja. Karena shalat sunnah mutlaq adalah shalat yang tidak dibatasi waktu, tidak dibatasi sebab dan bilangannya pun tidak ada batasnya. Dan shalat hajat adalah shalat yang dilaksanakan saat kita memiliki keinginan (hajat) tertentu, termasuk hajat li daf'il makhuf (menolak hal-hal yang dihawatirkan). Jadi jika ada orang yang melaksanakan shalat rebu wekasan dihari itu 4 rakaat, shalat itu tidak mungkin dikatakan shalat rebu wekasan, karena dalilnya tidak ada. Tetapi melakukan shalat tersebut tentunya boleh-boleh saja dengan harapan terhindar dari berbagai malapetaka.

Hadratus syekh KH. Hasyim Asy'ari pernah menjawab pertanyaan orang tentang rebu wekasan. KH. Hasyim menyatakan bahwa semua itu tidak ada dasarnya dalam islam (ghairu masyru'). Umat islam juga dilarang menyebarkan atau mengajak orang lain untuk mengerjakannya. Beliau mengatakan: "Tidak benar fatwa tentang mengajak-ajak dan melakukan shalat rebo wekasan dan shalat hadiyah, sebab dua shalat itu bukan sholat yang disyariatkan dan tidak ada dasarnya dalam agama. Dalilnya juga sama sekali tidak ada dalam kitab-kitab yang mu'tamad seperti Taqrib, al-Minhajul Qowim, Fathul Mu'in, at-Tahrir, an- Nihayah, al- Muhadzdzab dan Ihya' Ulumuddin. Semua kitab itu tidak ada yang menyebutkan tentang kedua shalat tersebut. Dan tidak benar memberi fatwa dengan mengambil hukum dari kitab Nazhatul-Majalis sebagaimana keterangan dalam Hawasyi Asybah wan Nazhair, Tadzkiratul-Maudlu'at dll".

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa keyakinan datangnya sial pada bulan shafar memang sudah ada dan berkembang sangat lama di dalam masyarakat islam sehingga tidak diketahui kapan persisnya dan siapa pencentus pertamanya. Namun jelas salah jika kemudian kita meyakini bahwa pada rebu wekasan adalah hari sial, karena sejatinya segala sesuatu yang terjadi adalah takdir Allah. Rebu wekasan memiliki berbagai macam amalan yang bervariasi tergantung daerah setempat dan tradisi yang turun temurun. Tradisi rebo wekasan memang bukan bagian dari syariat islam, akan tetapi merupakan tradisi yang positif karena didalam ritual keagamaan dalam rebu wekasan menganjurkan untuk sholat, berdoa, dan juga banyak bersedekah. Karena itu, hukum ibadahnya sangat bergantung pada tujuan dan teknis pelaksanaan. Jika niat dan pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan syariat, maka hukumnya boleh. Tapi, bila terjadi penyimpangan (baik dalam keyakinan maupun caranya), maka hukumnya haram. Bagi yang meyakini silahkan mengerjakan tapi harus sesuai aturan syariat dan tidak mengajak orang lain untuk mengerjakannya. Bagi yang tidak meyakini tidak perlu mencela atau mencaci-maki.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun