Mohon tunggu...
PUTRI DHIYA AYUNI
PUTRI DHIYA AYUNI Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seorang guru dari Badung-Bali

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pelaksanaan Tradisi Megibung oleh Sekehe Teruna sebagai Media untuk Memaknai Hari Kasih Sayang Menuju Pembangunan Nasional Berwawasan Budaya

1 Februari 2023   16:17 Diperbarui: 1 Februari 2023   16:20 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Paras-paros sarpanaya segilik-seguluk salunglung sabayantaka (Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing; senasib sepenanggungan)". Semboyan yang sering terdengar itu sangatlah tepat untuk menggambarkan kondisi masyarakat Bali pada waktu dulu. Bagaimana tidak? Masyarakat Bali yang dulu dikenal sebagai masyarakat yang saling bahu-membahu dalam menjalankan aktivitas kehidupan. Seia sekata dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan dalam mencapai cita-cita, dan tak jarang pula menunjukkan sikap senasib sepenanggungan. Solidaritas antarsesama dan tenggang rasa sangat dijunjung tinggi. Kesusahan satu orang adalah kesusahan orang lain juga. Dahulu masyarakat Bali sangat menyadari dan mamahami makna Tat Twam Asi yang berarti aku adalah kamu dan kamu adalah aku. Masyarakat yang sangat menghargai pendapat orang lain. Hasil musyawarah dianggap sebagai kemenangan semua pihak, karena keputusan bersama adalah untuk kepentingan bersama (Supatra, 2006).

Namun pada masa sekarang ini, kondisi tersebut sangat berbeda. Seiring perkembangan zaman, masyarakat Bali semakin majemuk dengan perbedaan yang ada. Masyarakat Bali pada masa kini telah mengalami berbagai perkembangan sosial dan budaya. Sebagian besar masyarakat Bali semakin bersifat individual dan menyendiri. Mereka asyik dan sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ditambah lagi dengan perkembangan teknologi saat ini. Kecanggihan teknologi membuat masyarakat lebih menikmati waktunya di dalam rumah ketimbang bersosialisasi dengan warga sekitar. Hal itu ditunjukkan pada kasus yang termuat dalam berita Bali Post (September:2014) tentang penghinaan antarumat beragama melalui jejaring sosial. Penghinaan itu terkait pelecehan keberadaan pura dan tata cara persembahyangan umat beragama. Dimana  umat Hindu sering disebut agama yang paling ribet dan suka menghambur-hamburkan uang serta penghasil bahan sampah (sisa upacara). Apabila hal tersebut dibiarkan, bukankah akan menimbulkan pertikaian antarumat beragama? Karena itu, masihkah Indonesia dapat dijuluki sebagai negara berlandaskan Pancasila? Mengingat negara kita negara berlandaskan Pancasila yang mengatur toleransi atas  kebebasan untuk memeluk suatu agama menurut keyakinannya.

Dalam keramaian karena jumlah masyarakat yang kian bertambah, sebagian besar dari masyarakat telah mengurung diri dalam tembok rumah yang kokoh dan terkesan meminimalkan interaksi antarsesama. Sebagian besar masyarakat Bali telah kehilangan rasa toleransi, solidaritas, tenggang rasa dan gotong royongnya. Semuanya telah berjalan sendiri-sendiri. Kehidupan seperti ini tak pelak akan membuat mereka terjebak kepada perilaku yang mengarah pada perpecahan. Oleh sebab itu, nilai-nilai kebersaman yang telah diwariskan oleh para leluhur, terdegradasi begitu saja. Padahal eksistensinya memiliki korelasi kausal terhadap upaya mengajegkan Bali dan mewujudkan integrasi serta integritas dalam kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara serta pembangunan di Republik Indonesia (Zulkarnain Nasution:2014, dalam blognya www.lunturnya solidaritas masyarakat.com).

Berbagai potensi dan perkembangan sosial tersebut semakin memberi penyadaran bahwa masyarakat multikultural di Bali ternyata tidak selamanya kondusif bagi tumbuhnya toleransi dan demokrasi apalagi dalam kondisi masyarakat Bali yang pemilahan, fragmentasi, serta polarisasi sosialnya relatif tinggi. Kondisi diferensiasi sosial yang demikian semakin memberi penyadaran bahwa upaya untuk lebih mengaktualisasikan dan mengimplementasikan nilai-nilai kebersamaan dan menumbuhkan rasa saling memiliki antara yang satu dengan yang lainnya serta mengembangkan toleransi sudah sangat mendesak dilakukan (Suacana, 2005 : 6).

Di tengah krusialnya permasalahan akibat semakin luruhnya rasa kebersamaan diantara masyarakat Bali, megibung sebagai tradisi budaya yang turun-temurun maupun konvensional masih tetap dipertahankan dan dilestarikan oleh masyarakat di Dusun Saren Jawa, Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Masyarakat yang terlibat dalam kegiatan tersebut tidak hanya umat Hindu tetapi umat Islam juga biasa terlibat dalam tradisi megibung.

Sekeha teruna sebagai suatu organisasi kepemudaan di Bali berbasis sistem adat yang mampu mengikat remaja dalam ruang lingkup organisasinya. Keterkaitan sekeha teruna dalam hubungan sosio-kultural-religius yang dipayungi oleh awig-awig (aturan adat di Bali) menyebabkan sekeha teruna mampu menunjukkan citra dan eksistensinya di tengah tingginya prospek pariwisata Bali. Tidak heran jika dapat dikatakan bahwa sekeha teruna merupakan organisasi kepemudaan di Bali yang tidak akan usang karena umur, tidak akan lekang karena panas, dan tidak akan lapuk oleh dinginnya zaman (Mulyono,1978). Mengingat besarnya peranan remaja sebagai kader pelestari budaya, diperlukan suatu bentuk pelestarian tradisi megibung berbasis generasi muda dengan strategi terpadu yang secara aktif mengabdi demi kelestarian tradisi budaya megibung di tengah perkembangan kehidupan masyarakat yang cenderung bersifat individualistis.

Megibung berasal dari kata gabung yang mendapat awalan me menjadi megabung dan akhirnya terjadi proses transformasi dari a ke e yang akhirnya menjadilah megibung. Gabung artinya menjadi satu artinya bersatu, maka dapat diartikan bersatu atau bersama menikmati satu hidangan. Dimana dalam hal ini adalah sebuah makanan. Tradisi megibung diselenggarakan dengan tujuan membangun rasa kebersamaan dan kekuatan dari persahabatan dan persaudaraan. Semua peserta megibung adalah sama, tidak membedakan agama,  kaya atau miskin dan tidak ada yang berpendidikan maupun yang tidak berpendidikan. Jelas bahwa ketika peserta megibung duduk dan makan dalam satu tempat, tidak ada lagi perbedaan kedudukan, status sosial, maupun status pendidikan.

Dalam wacana Bali Trevel News.com menyebutkan  bahwa tradisi megibung diciptakan oleh raja karangasem, I Gusti Anglurah Ketut Karangasem ketika beliau menyerbu Lombok. Megibung digunakan untuk menghitung korban perang dan pasukan yang masih bertahan. Megibung memberi penekanan pada nilai kebersamaan dan demokrasi. Tidak ada perbedaan kasta dan perbedaan tingkat ekonomi, semua orang yang mengelilingi gibungan adalah sama di hadapan Dewi Sri (Dewi Kemakmuran).

Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan status sosial dan agama bukanlah menjadi suatu penghalang untuk mewujudkan kebersamaan dalam integrasi dan integritas upaya menuju pembangunan nasional. Perihal tersebut juga membuktikan masih kuatnya rasa saling memiliki dan kebersamaan diantara masyarakat Dusun Saren Jawa. Tradisi warisan leluhur yang membuat mereka makin mempererat persatuan dan kesatuan dalam menjalankan kehidupan tanpa memandang perbedaan suku, agama, ras, dan sebagainya. Tradisi ini juga sekaligus menunjukkan eksisnya realitas dari semboyan Bangsa Indonesia yakni Bhinneka Tunggal Ika yang berarti walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu.

Dalam tradisi megibung banyak terkandung nilai-nilai yang ada didalamnya termasuk nilai-nilai keselarasan dalam Tri Hita Karana. Berbicara tentang Tri Hita Karana dalam pelaksanaan megibung memiliki kaitan yang sangat erat. Jika ditinjau dari segi moral tradisi megibung memiliki korelasi yang sangat erat dan juga sangat terasa nuansanya.

Korelasi yang dimaksud antara pelaksanaan tradisi megibung  dan unsur Tri Hita Karana, adalah sebagai berikut. Pada kesehariannya, masyarakat Bali tidak akan pernah terlepas dari Tri Hita Karana yaitu tiga hal yang patut dijalankan menuju kedamaian hidup, yang terdiri atas Parahyangan (hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan), Pawongan (hubungan harmonis antara manusia dengan manusia), dan Palemahan (hubungan harmonis antara manusia dengan alam). Begitu pula halnya dengan sekeha teruna atau remaja di Dusun Saren Jawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun