Di sebuah pasar hewan, seekor monyet ekor panjang mungil terkurung dalam kandang kawat berkarat. Tangannya meraih udara kosong, matanya menatap dengan cemas setiap orang yang lewat, seolah meminta pertolongan. Di sudut lain kota, beruk jantan dipaksa mengenakan rompi lusuh, berjalan di trotoar panas sambil menarik gerobak mini. Gelak tawa penonton menenggelamkan jeritan halus yang tak pernah mereka dengar.
Padahal di hutan, kisah mereka berbeda sama sekali. Monyet ekor panjang dan beruk adalah akrobat alami, melompat lincah dari dahan ke dahan, memencar biji-biji pohon, dan menjadi bagian penting dari regenerasi ekosistem. Tanpa mereka, hutan kehilangan salah satu pekerja senyap yang menjaga keseimbangannya.
Lantas, maukah kita terus melihat mereka sebagai komoditas hiburan dan eksperimen semata? Atau sudah saatnya kita menempatkan mereka sebagai penjaga hutan yang sesungguhnya---dan juga penjaga masa depan kita?
Di balik wajah imut monyet ekor panjang (MEP), tersimpan kisah kelam tentang bagaimana manusia memperlakukannya. Salah satu bentuk eksploitasi paling nyata adalah tren menjadikan mereka sebagai hewan peliharaan. Di media sosial dan pasar online, tak sulit menemukan akun yang menawarkan bayi MEP dengan harga murah. Padahal, untuk mendapatkan bayi itu, seringkali induknya ditembak atau ditangkap paksa. Lebih parah lagi, interaksi dekat dengan manusia menyimpan ancaman zoonosis, penularan penyakit dari satwa ke manusia, seperti herpes simiae atau tuberkulosis, yang bisa berakibat fatal.
Eksploitasi lain hadir di jalanan: praktik topeng monyet. Meski beberapa kota besar sudah melarang, pertunjukan ini masih muncul di berbagai daerah. Beruk atau MEP dipaksa mengenakan kostum, ditarik dengan rantai, dipaksa berdiri atau bersepeda mini. Apa yang tampak sebagai hiburan murah sebenarnya adalah potret penderitaan yang dibungkus tawa.
Tak berhenti di situ, MEP juga menjadi komoditas global. Indonesia tercatat sebagai salah satu sumber terbesar ekspor MEP untuk kebutuhan riset biomedis di luar negeri. Ribuan ekor ditangkap dari alam atau dibesarkan di fasilitas tertentu, lalu diekspor sebagai "bahan percobaan" untuk uji coba medis. Akibatnya, populasi liar terus tertekan.
Menurut IUCN Red List, monyet ekor panjang kini masuk kategori Vulnerable (rentan punah). Artinya, tekanan akibat penangkapan, eksploitasi, dan degradasi habitat telah mendorong mereka berada di tepi ancaman serius. Di balik semua itu, kesejahteraan satwa terabaikan, dan ekosistem hutan yang membutuhkan mereka pun ikut terganggu.
Risiko Zoonosis, Ancaman yang Kembali ke Manusia
Ketika manusia terlalu dekat dengan monyet ekor panjang (MEP), batas alami antara satwa liar dan manusia menjadi kabur. Celah inilah yang membuka jalan bagi penularan penyakit menular lintas spesies, atau zoonosis. Rabies, tuberkulosis (TB), hingga Herpes B virus adalah sebagian ancaman nyata. Kasus herpes B yang berasal dari kera, misalnya, telah tercatat menyebabkan infeksi fatal pada manusia dengan tingkat kematian mencapai 70--80 persen bila tidak segera ditangani.
Interaksi berulang, entah lewat pemeliharaan, atraksi jalanan, maupun penelitian, semakin memperbesar risiko itu. Bayi MEP yang tampak menggemaskan di rumah bisa membawa kuman berbahaya yang tak kasat mata. Begitu pula hewan-hewan yang dipaksa hidup dalam kondisi stres dan tidak sehat, justru lebih rentan menjadi reservoir penyakit baru.