Mohon tunggu...
Puteri Shania C
Puteri Shania C Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Do what you like.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Memahami Komunikasi Melalui Film Documenter "The Social Dilemma"

14 Juli 2021   22:01 Diperbarui: 15 Juli 2021   00:06 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

     Assalamualaikum teman-teman, kembali lagi dengan saya Puteri Shania C, dari Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Kali ini saya masih membahas tentang Ilmu Komunikasi, namun melalui film dokumenter berjudul The Social Dilemma. Dari judul film tersebut kita sudah dapat garis besar permasalahan yang akan dibahas, satu tentu saja tentang komunikasi dan yang kedua adalah dilemma dalam bersocial media. Tanpa membuang waktu lagi, saya akan memberikan tanggapan serta apa saja yang biasanya dapat mengganggu pemikiran seseorang dalam bersocial media. Semoga tulisan saya dapat dipahami oleh teman-teman sekalian dan dapat membantu siapapun yang membacanya.

     Kali ini seperti yang kalian ketahui bahwa dalam bersocial media kita harus memiliki etika. Etika disini tidak hanya kepada yang lebih tua namun juga kepada sesama. Menggunakan kosakata yang baik sehingga oembaca yang lain tidak merasa bahwa topik yang kita sampaikan adalah sampah, memberikan masukan dengan cara yang mendidik tidak dengan berkata kasar. Suatu ketika saya bermain sebuah soaial media yang tidak akan saya sebut namanya, disana saya memiliki cukup banyak teman dari berbagai pulau, bahkan ada yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda juga. Saat saya sedang scroll timeline saya menemukan sebuat postingan dengan nagada yang kasar serta menggiring opini, lalu saya lihat kolom komentarnya dan menemukan tidak sedikit orang yang setuju dengan postingan tersebut, dan disertai kata-kata yang kasar pula. Dari pengalaman saya ini kita dapat menyimpulkan bahwa beberapa orang masih tidak bisa menjaga tutur kata dan etikanya dalam bersosial media. Mungkin menurut mereka itu hanya lucu-lucuan, tapi tidak dengan beberapa orang lain yang mungkin saja merasa bahwa postingan itu ditujukan untuk mereka. Jadi kita sebelum bersosial media perlu adanya sikap dan tata bahasa yang harus dijaga agar tidak melukai orang lain, baik disengaja maupun tidak disengaja. Agar hidup kita disocial media tidak menimbulkan perpecahan serta terus memberikan sisi positif serta kebaikan yang dapat dibagikan kepada siapapun. 

      Dalam bersocial media kita juga tidak dapat dijauhkan dengan hoax atau informasi palsu, dalam hal ini kita sebagai pembaca juga harus dalah memilah mana postingan yang baik, dapat membangun serta tidak penuh dengan kebohongan. Misalnya beberapa orang sering memberikan informasi yang salah agar 'lapak'nya ramai. Dari situ saja penggunakan social media sudah menyimpang. Bukannya memberikan informasi yang baik malah memberikan informasi yang tidak diketahui kebenarannya. Selain itu cara agar kita terhindar dari hoax adalah memastikan sumbernya, apakah sumber berita tersebut dapat dipercaya atau tidak, dan pastikan itu tidak hanya berasal dari satu sumber yang tidak tahu siapa yang menuliskannya. Saya tidak banyak menemukan persoalan hoax yang dapat ditemukan dari hidup saya namun beberapa teman saya pernah mendapatkannya. Seperti sekarang ini yang terjadi hampir diseluruh dunia yaitu COVID-19, tidak jarang bahkan sering kita temukan beberapa hoax yang dapat diakses dengan mudah. Contoh lainnya adalah menyebaran broadcast pada aplikasi WhatsApp yang sering kita temukan pada ponsel orang tua kita. Iya, benar. Ponsel orang tua kita. Seperti yang belakangan ini menyebar ialah COVID-19 dapat disembuhkan dengan obat cacing. Bukankah itu hal yang agak abstrud untuk didengar? Dan tentu saja belum diketahui kebenarannya, hanya bersumber dari salah satu orang yang mengatakan "Ada 5 teman saya yang sembuh setelah meminum obat cacing." Dari kata yang disampaikan saja sudah janggal, lalu apa sudah diuji di lab? Tentu saja belum. Hanya berpatokan pada '5 temannya yang sembuh'. Penyebaran hoax dimasa pandemi ini sangat pesat, bahkan orang-orang langsung mempercayainya tanpa menguji kebenarannya. Jika saya harus menyebutkan maka artikel ini akan terasa sangat panjang karena bukan hanya satu atau dua saya, namun sangat banyak.

     Selain dua yang saya sebutkan faktor lain dari kecemasan dalam bersosial media ialah rasa cemas itu yang datang dari tekanan yang diberikan oleh sekitar. Tidak hanya secara online namun juga diberikan dari beberapa orang yang berada didekat kita. Rasa cemas itu muncul karena takut diperhatikan sekitar atau dengan melihat sekitar yang asik dan sibuk sendiri. Dalam kasus ini saya dapat merasakannya. Belakangan saya mulai merasa jenuh terhadap social media yang saya gunakan, saya sering mengabaikan beberapa pesan dari teman online saya yang menanyakan keberadaan saya yang menghilang beberapa hari dan lainnya. Rasa cemas yang saya rasakan ini lebih ke arah exhausted menanggapi percakapan beberapa orag yang kemudian menimbulkan kecemasan bagaimana kalau mereka menganggap saya menjauh dan sebagainya. Beberapa kali saya mendapati bahwa saya merasakan risih melihat disekeliling saya cukup sibuk dengan telfon genggam masing-masing, tidak saling menyapa bahkan berbicara melalui aplikasi chat yang ada di smartphone mereka, bukannya berbicara secara langsung. Saya merasa harus ada yang saya ubah dari kebiasaan kita yang tidak memperhatikan lawan saat berbicara, jadi saat teman saya mengajak ngobrol saya langsung berkata, ngomong langsung saja. Agar mereka berhenti menggunakan smartphone mereka. Dan bersyukurnya mereka melakukan itu seperti yang saya sarankan, dan kamu berlanjut berbicara tanpa menggunakan smartphone kali. Belakangan ini mungkin beberapa orang memiliki masalah yang sama dalam menjadi komunikasi, seperti saat dirumah, tidak banyak anggota keluarga yang bercengkrama dan berbicara tanpa melalui pesan chat. Tidak semua, namun beberapa orang melakukannya. Rasa khawatir yang berlebihan jiga anggota keluarga kita ada yang kecanduan bahkan mengurung diri dan tidak dapat atau bahkan tidak mau ditemui juga tidak jarang terjadi. Jadi jikah kalian memiliki firasat atau merasa sesuatu yang tidak benar, mungkin kalian bisa mengemukakan pendapat terhadap sesama, namun jangan lupa dengan etika dalam berbicara. Kita tetap harus sopan dalam menyampaikan pendapat serta yang membalasnya juga dapat memberikan respon yang positif. Positif disini tidak harus setuju, namun menggunakan tutur kata yang dianjurkan dalam memulai percakapan yaitu sopan santun. 

     Selain itu hal yang perlu kita waspadai adalah dimana semakin banyak kita membuat akun disocial media, maka semakin banyak pula data kita yang secara tidak sadar kita berikan kepada social media tersebut. Dari situ beberapa aplikasi juga 'diduga' menggunakan data kita secara serampangan. Bahkan sudah tidak asing lagi dengan beberapa 'kebocoran' data yang sering terungkap perjual beliannya. Dengan kata lain beberapa perusahaan teknologi besar kemungkinan memiliki data basic atau pemula dari milik setiap individu yang mendaftarkan dirinya. Maka dari itu mereka dapat melihat atau memantau apa yang kita lakukan, ada dimana kita bahkan sampai password apa yang kita gunakan disocial media. Kejadian seperti ini sering terjadi, belakangan ini om saya terkena hack oleh orang tidak bertanggung jawab, buang uang namun data pribadinya dari sebuah aplikasi chat yang sering digunakan orang banyak. Dia bahkan harus membayar uang yang jumlahnya tidak sedikit untuk mengembalikan akun tersebut. Cukup merepotkan dan sangat berbahaya, tapi apakah mereka berhenti menggunakannya? Tentu saja tidak. Sebesar apapun hal yang diambil bahkan tidak membuat masyarakat berhenti menggunakan aplikasi tersebut, jadi hasilnya sama saja. Akan terus berulang hingga mereka merasakan perasaan yang 'sudah biasa' dalam hal kebocoran data.

     Secara tidak sengaja kita sudah ketergantungan terhadap alat teknologi, dengan secara tidak sadar menunggu balasan atau menunggu notifikasi pemberitahuan dari seseorang yang sangat kita tunggu-tunggu balasannya. Dan dengan itu kita juga secara tidak sadar melakukan kemauan dari alat teknologi tersebut, sehingga menjadi ketergantungan. Kita tidak tahu betapa sering kta memberikan data, seberapa sering kita 'manjual' data kita kepada situs yang seharusnya gratis, itu semua dilakukan berdasarkan prediksi, dinilai dari keseharian kita, apa saja yang kita lakukan dan apa saja situs yang kita akses. Dengan itu mereka dapat mengetahui apa yang kita lakukan. Apapun yang kita lakukan dipantau dengan sangat hati-hati. Tentu saja kita tidak tahu, kita hanya ingin membuat akun untuk diri kita dan memberikan data yang bagi kita kecil berupa nama dan kesukaan kita lalu data tersebut sudah terjual bebas tanpa kita ketahui.

     Seperti yang selalu saya katakan, kita sebagai manusia harus dapat memilih dan memiliki pilihan yang bijak agar tidak terperangkap dalam teknologi. Memang sulit membedakan namun kita pasti dapat memilah hal yang baik dan buruk bagi kita sendiri. Sekian tylisan saya kali ini semoga dapat membantu dan menjawab pertanyaan teman-teman dengan ringkas, juga mengingatkan teman-teman jika bersocial media yang sewajarnya saja. Akhir kata, terima kasih banyak dan sampai jumpa di tulisan berikutnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun