Mohon tunggu...
Wisnu Bangun Saputra
Wisnu Bangun Saputra Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mencoba menjadi Orang Jawa yang "JAWA"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Schleiermacher - Hermeneutika Romantis

28 Oktober 2015   14:12 Diperbarui: 28 Oktober 2015   14:12 943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di wilayah ini, hermeneutika masih berupa embrio. Hermeneutika ketika itu masih belum berdiri sendiri sebagai sebuah disiplin keilmuan. Hermeneutika masih mengekor pada logika, dialektika, dan linguistik. Artinya, di dalam praktik ketiganya, hermeneutic pasti digunakan. Dalam hal linguistic misalnya, mereka membutuhkan hermeneutika untuk memahami sebuah bahasa secara benar. Begitu juga dengan dialektika dan logika. Hermeneutika menyatu dalam ketiga-tiganya.

Hermeneutika dalam wilayah ini, sudah muncul pada abad ke—7 sampai 6 masehi di masa Yunani kuno. Di masa ini, objek penafsirannya masih seputar hal-hal mistik, baik itu tertulis ataupun tidak. Pada awalnya, penafsiran mereka masih literal. Namun, pada perkembangannya, berangkat dari kesimpulan Aristoteles yang membagi makna menjadi dua bagian: makna literal dan makna aligoris, mereka mulai sadar bahwa dalam sebuah objek penafsiran itu memiliki dualisme makna. Pertama makna literal yang sempit dan tidak hidup dan kedua makna aligoris yang lebih mementingkan pesan dibalik makna literal. Sehingga, dari konsep makna aligoris ini, teks-teks mitos serasa lebih hidup dan mengalir.

Hermeneutika teks Bibel.

       Pada abad pertama masehi, setelah beratus-ratus tahun masa Aristoteles terlewati. Makna aligoris perlahan terlupakan. Aktivitas-aktivitas penafsiran kembali kepada makna literal. Objek penafsiran yang popular di masa ini—1 masehi—adalah teks bibel. Artinya, di awal masa ini, teks bibel banyak dipahami secara literal.

          Sampai akhirnya muncul Philo von Alexandrian yang menempatkan kembali Hermeneutika pada tempatnya, yaitu dualisme makna. Dengan meminjam istilah dari Aristoteles berabad-abad silam, Philo berhasil mengubah haluan penafsiran tentang Bibel. Mulai saat itu, bibel tidak lagi hanya dipahami secara literal dan kaku, namun juga memperhatikan makna-makna aligoris. Philo memberikan sumbangsih yang luar biasa bagi masyarakat Kristen ketika itu. Dan pada akhirnya, Philo dikenal sebagai Vater der Alligorese, bapak penafsiran aligoris.

Masalah prioritas, pada awalnya—ketika Philo masih hidup—antara makna literal dengan makna aligoris memiliki tempat yang sama. Tidak ada yang lebih tinggi antara satu dengan lainnya. Pemahaman bibel yang berbasis literal tidak lebih tinggi dari pemahaman bibel yang berbasis aligoris, begitu juga sebaliknya. Akan tetapi, pada akhirnya—beberapa saat sebelum Philo menghembuskan nafas terakhirnya—Philo menyatakan bahwa makna aligoris itu lebih tinggi dari makna literal.

          Beberapa waktu setelahnya, muncul Origenes. Origenes, menindaklanjuti ucapan Philo tentang lebih tingginya makna aligoris dari makna literal. Origenes menambahkan dualisme makna Philo menjadi tiga makna. Adalah makna literal, moral, dan spiritual. Secara tidak langsung, melalui kesimpulan barunya tersebut, Origenes mengamini kesimpulan terakhir Philo tentang unggulnya makna alogoris. Sehingga itu berdampak pada pemecahan lagi makna aligoris menjadi dua: moral dan spiritual.

          Core dalam pembahasan ini adalah bahwa sebenarnya konsep hermeneutika sebagai metode penafsiran bukan pertama kali muncul di masa popular-populernya penafsiran bibel, 1 masehi. Akan tetapi, jauh sebelum itu. Yaitu di masa Yunani kuno dengan objek kajian yang tidak sebatas teks. Pun hal itu tidak hanya memandang makna sebagai makna literal saja, tetapi juga aligoris. Dengan demikian, kurang lurus sepertinya kalau dikatakan bahwa hermeneutika sebagai metode penafsiran ini adalah khusus untuk bibel.

Hermeneutika Modern

         Hermeneutika modern, kali pertamanya dipelopori oleh Johann Conrad Dannhauer pada abad ke—17. Dannhauer memandang Hermeneutika adalah suatu ilmu yang sudah waktunya untuk menjadi disiplin keilmuan mandiri. Hal itu disebabkan oleh posisi hermeneutika itu sendiri sebagai metode penafsiran. Metode penafsiran adalah sesuatu yang tampak dan bisa diketahui. Apapun yang bisa diketahui pasti memiliki pengetahuan filosofis. Ketika sesuatu itu sudah memiliki pengetahuan filosofis, di waktu yang sama hal itu menemukan sisi ontologisnya sendiri. Dengan demikian, hermeneutika sudah siap untuk menjadi displin keilmuan mandiri.

          Dalam hal objek kajiannya, objek material hermeneutika adalah simbol-simbol—apapun itu—yang didasarkan pada kesepakatan bersama. Termasuk di dalamnya adalah simbol-simbol agama, simbol alam—seperti asap sebagai simbol adanya api—dan simbol-simbol non-verbal seperti gambar dan sebagainya. Sedangkan objek formalnya adalah ungkapan yang mengandung pelajaran dan sulit dipahami. Selanjutnya, dengan itu, seorang penafsir adalah satu-satunya pihak yang paling berhak untuk menganalisa benar tidaknya sebuah objek. Dengan demikian, Dannhauer mengatakan bahwa di sinilah hermeneutika menemukan fungsinya, yaitu untuk menjaga seorang penafsir dari sebuah kesalahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun