"Menelusuri Kelahiran Pancasila dan Perannya dalam Membangun Indonesia"
Resume: Sejarah Kelahiran dan Perumusan Pancasila, Demokrasi Pancasila, Sistem Ekonomi Pancasila, dan Pembangunan Nasional Berdasarkan Pancasila
Sejarah kelahiran dan perumusan Pancasila tidak dapat dilepaskan dari perjalanan panjang bangsa Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan. Pembentukan BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) menjadi tonggak awal proses perumusan dasar negara. BPUPK dibentuk oleh Jepang pada 29 April 1945 sebagai bagian dari janji untuk memberi kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Badan ini beranggotakan 62 tokoh bangsa dengan beragam latar belakang, dipimpin oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat. Tugas utama BPUPK adalah menyelidiki dan merumuskan dasar bagi Indonesia merdeka, termasuk menyusun rancangan Undang-Undang Dasar.
Pada Sidang Pertama BPUPK (29 Mei--1 Juni 1945), berbagai gagasan mengenai dasar negara muncul. Mr. Muhammad Yamin pada 29 Mei mengusulkan lima dasar negara yang terdiri dari Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Soepomo pada 31 Mei mengemukakan konsep integralistik yang menekankan persatuan dan tidak adanya dominasi individu. Sementara itu, pada 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menyampaikan pidato bersejarah yang menawarkan lima prinsip, yaitu Kebangsaan, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan. Soekarno menyebut dasar negara itu sebagai Pancasila yang kemudian disepakati sebagai landasan ideologis.
Masa reses BPUPK pada 22 Juni 1945 menghasilkan kesepakatan penting yang dikenal dengan Piagam Jakarta. Panitia kecil beranggotakan sembilan orang (Panitia Sembilan) berhasil menyusun rumusan dasar negara dalam Pembukaan UUD 1945. Piagam Jakarta memuat sila pertama dengan rumusan "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Namun, rumusan ini kemudian mengalami perubahan pada 18 Agustus 1945 demi menjaga persatuan bangsa yang majemuk.
Pada akhirnya, Pancasila disahkan sebagai dasar negara pada 18 Agustus 1945 dalam sidang PPKI. Rumusan final dalam Pembukaan UUD 1945 adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Proses ini mencerminkan adanya berbagai pandangan mengenai dasar negara, baik dari tokoh nasionalis maupun tokoh Islam, yang akhirnya melebur dalam konsensus bersama.
Dalam praktik berbangsa, Demokrasi Pancasila menjadi bentuk nyata penerapan nilai-nilai Pancasila. Politik berdasarkan Pancasila menekankan musyawarah mufakat, partisipasi rakyat, serta persatuan nasional. Ekonomi berdasarkan Pancasila mengedepankan kesejahteraan bersama, gotong royong, dan pengelolaan sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat, bukan segelintir orang. Sementara itu, penghormatan terhadap hak asasi manusia juga menjadi bagian penting dari demokrasi Pancasila, dengan penekanan pada keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta kepentingan individu dan kepentingan bersama.
Sistem Ekonomi Pancasila memiliki landasan konstitusional yang jelas, terutama dalam Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan. Pandangan para pakar memberi kontribusi besar terhadap penguatan sistem ini. Mohammad Hatta menekankan pentingnya koperasi sebagai sokoguru ekonomi rakyat. Widjojo Nitisastro dan Emil Salim menyoroti peran negara dalam perencanaan ekonomi. Mubyarto mengembangkan konsep Ekonomi Pancasila dengan ciri kolektivisme religius dan gotong royong. Sri-Edi Swasono menekankan demokrasi ekonomi yang menolak kapitalisme liberal. Bintoro Tjokroamidjojo dan Hidayat Nataatmadjaja menegaskan pentingnya pemerataan. Sementara itu, Boediono, Soeharto, Sumitro Djojohadikusumo, Ginandjar Kartasasmita, Arif Budimanta, Maria Farida I. Soeprapto, Sudjito Atmoredjo, dan Subiakto Tjakrawerdaja masing-masing memberi tafsir yang memperkaya pengembangan sistem ekonomi sesuai konteks zaman.
Pemikiran ekonomi Pancasila dapat dirangkum dalam beberapa konsep. Kolektivisme religius menunjukkan bahwa ekonomi harus dijalankan berdasarkan nilai moral dan kebersamaan. Demokrasi ekonomi menekankan kedaulatan rakyat dalam pengelolaan ekonomi. Persaingan usaha dalam perspektif ekonomi Pancasila bukan untuk saling menjatuhkan, tetapi untuk meningkatkan produktivitas dengan tetap berlandaskan etika. Pengelolaan sumber daya alam harus dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, sementara pembangunan berkeadilan sosial menuntut pemerataan hasil pembangunan bagi seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, kerangka kerja sistem ekonomi Pancasila adalah membangun ekonomi kerakyatan yang adil, merata, dan berkelanjutan.
Selanjutnya, pembangunan nasional berdasarkan Pancasila merupakan perwujudan cita-cita kemerdekaan. Pancasila dan proklamasi kemerdekaan menjadi dasar moral, ideologis, dan politik dalam merancang pembangunan. Pembangunan nasional sendiri mencakup berbagai bidang kehidupan, dengan ruang lingkup yang sangat luas: pendidikan, kebudayaan, ilmu pengetahuan, teknologi, agama, pertahanan-keamanan, kesehatan, ekonomi, kesejahteraan rakyat, hukum, hak asasi manusia, komunitas adat, lingkungan hidup, perhubungan, maritim, serta komunikasi dan informasi.