Mohon tunggu...
Puspitaning Wanudya Utami
Puspitaning Wanudya Utami Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswi program studi Ilmu Komunikasi tahun 2018.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mencari Arti "Indonesia Tanah Surga" di Perbatasan Negara

6 November 2020   21:47 Diperbarui: 6 November 2020   22:10 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Orang bilang tanah kita tanah surga, tapi kehidupan sosial di perbatasan Indonesia masih memprihatinkan. Pada sila kelima berbunyi "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia", namun kesejahteraan rakyat yang ada di perbatasan masih sedikit terjamah oleh pemerintah. Salah satu film yang relevan dengan topik ini adalah "Tanah Surga... Katanya". Film ini rilis pada tahun 2012, disutradarai oleh Herwin Novianto. Deddy Mizwar, aktor legendaris pun turut mengambil posisi sebagai produser eksekutif. Film ini mengambil latar belakang desa perbatasan di Kalimantan. Ada seorang anak yang tinggal di sebuah desa terpencil yang jauh dari kota bersama kakeknya, sementara ayah dan adiknya pindah ke Malaysia. Namanya Salman, ia mempunyai semangat juang yang tinggi, baik untuk bersekolah atau memenuhi kebutuhan hidupnya. Adiknya, Salina, dia satu-satunya anak yang bisa menggambarkan bendera Indonesia dengan benar di kelasnya.

Cerita bermula dari kehidupan anak-anak semangat bersekolah meskipun dengan kondisi sekolah yang kurang layak. Dua tingkatan kelas pun digabung dalam satu ruangan. Sekolah mereka hanya memiliki satu guru, Astuti namanya. Jeda sekolah yang mereka alami karna tidak ada guru cukup lama yaitu 1 tahun, sehingga pelajaran yang disampaikan oleh Astuti kurang dipahami dengan baik oleh semua siswa. Tak jarang terlihat sikap kurangnya sopan santun para siswa, contohnya kerap tertawa dengan cukup kencang saat pelajaran, hingga mereka pun tak segan menertawakan gurunya. Hal yang lebih memprihatinkan saat seorang dokter tamu bernama Anwar menyuruh mereka untuk menyanyikan lagu wajib, semua siswa pun menyanyikan lagu "Kolam Susu" milik Koes Plus, sungguh mengagetkan. Ternyata penyebabnya adalah Astuti lupa mengajarkan lagu "Indonesia Raya" kepada siswa-siswi kelas 3 dan 4 tersebut, sekolah itu pun sudah ditinggalkan cukup lama sebelum Astuti mengajar di sana.

Tidak hanya lagu wajib nasional Indonesia Raya yang tak dikenal, bahkan mata uang yang dipakai justru milik negara tetangga. Miris, sedikit dari mereka yang mengenal mata uang Rupiah. Bahkan bukan hanya mata uang Indonesia yang tidak memiliki harga, simbol negara kita yaitu bendera merah putih pun tidak memiliki harga di negara Jiran sana. Bendera negara merah putih justru malah dijadikan alas untuk berdagang. Warga desa yang mayoritas berkebun atau bertani, menjual hasil kerjanya ke wilayah Malaysia. Meskipun harus melewati hutan yang cukup terjal dengan berjalan kaki terlebih dahulu, mereka anggap lebih baik dibanding menjualnya ke pusat kota di Kalimantan karena hanya akan menghabiskan uang mereka hanya untuk ongkos saja. Dokter Anwar dalam film tersebut pun hingga berkata, "Wah, bahaya, nanti lama-lama mereka merasa dirinya bukan orang Indonesia.". Dan kenyataan pahitnya adalah memang sudah banyak warga desa tersebut yang memilih untuk pindah ke Malaysia dan merubah kewarganegaraannya, salah satunya adalah Haris, ayah Salman. Haris sudah mengajak kedua anaknya untuk pindah ke Malaysia karena ia merasa kehidupan akan lebih baik disana. Namun yang pergi hanyalah Salina, Salman memilih untuk menetap bersama kakeknya, Hasyim, yang merupakan seorang veteran dan pernah melawan Malaysia.

Kenyataan asli mungkin tidak akan jauh berbeda dari apa yang ditampilkan flim ini. Hidup di wilayah perbatasan memang tidak akan mudah. Pemerintah seakan belum memberi perhatian lebih kepada mereka, sehingga untuk tetap bertahan hidup mereka sampai memilih meninggalkan tanah air. Sarana dan prasarana seperti dalam bidang pendidikan dan kesehatan pun terbatas, kesejahteraan belum menyentuh mereka. 

"Jakarta yang makmur, bukan di sini."

Kutipan dialog di atas juga mengandung arti bahwa pada kenyataannya negara ini sudah merdeka, namun tidak setiap warga negara ini dapat merasakannya. Film ini seperti menyampaikan bahwa negara hanya berfokus pada kota-kota besar terutama Ibukota, sedangkan daerah-daerah perbatasan tidak begitu diperhatikan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah setempat. Jangan sampai hal ini membuat banyak warga negara yang menyerah dengan tanah air karena merasa tidak diperhatikan atau dianggap sehingga lebih memilih untuk ke tempat lain.

Mereka masyarakat yang tinggal di pedalaman justru masih sering bertanya, "Apakah Indonesia ini negara yang adil? Jika iya, kenapa kita masih mengalami kekurangan dalam segala aspek?". Seperti pada film ini, masyarakat pendalaman dan pinggiran kalimantan masih bertanya, apa benar Indonesia ini tanah surga? Mungkin sebagian dari mereka benar menganggap Indonesia ini tanah surga, tapi nyatanya perkatakaan itu dipatahkan oleh Salman dalam film ini yang lewat puisinya berisi "Tongkat kayu dan batu jadi tanaman, yang nyatanya banyak penjabat yang menjual kayu dan batu untuk membangun surganya sendiri.". Dari sinilah semua warga terbuka matanya dan mengakui bahwa benar keadilan merata di Indonesia ini masih belum terlihat.

Namun dibalik itu semua ada satu pesan yang benar-benar harus kita lakukan sebagai masyarakat Indonesia baik itu di perkotaan maupun di pedesaan sekalipun, dan pesan itu disampaikan oleh kakek Salman yaitu Hasyim yang mengatakan "Indonesia tanah surga apapun yang terjadi pada negara ini, jangan sampai kehilangan cintamu kepada negeri ini." di akhir hidupnya. Walaupun pesan ini ia sampaikan untuk cucunya, tapi secara tidak langsung pesan ini juga ingin mengingatkan kita sebagai Warga Negara Indonesia. Hasyim, meskipun hidupnya dapat dikatakan kurang sejahtera, ia tetap memiliki rasa cinta air yang tinggi. Meskipun dia seorang veteran yang kurang diapresiasi, ia tetap memilih Indonesia hingga akhir hidupnya. Ia menunjukkan sikapnya yang tidak ingin dianggap mengabdi untuk pemerintah, melainkan untuk negara. Dia berjuang untuk bangsanya.

Penulis:

Nurul Islamiyah
Risky Amelia S. P.
Khalida Nurul M.
Puspitaning W. U.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun