Mohon tunggu...
Purwani Vinaltri
Purwani Vinaltri Mohon Tunggu... Saya adalah guru pendidikan khusus dan mahasiswa pascasarjana manajemen pendidikan.

saya senang memelihara tanaman, minum kopi dan bersepada.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pemimpin Sekolah: Menuju Perubahan Mutu Pendidikan Indonesia

3 Oktober 2025   08:47 Diperbarui: 3 Oktober 2025   10:17 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam dunia pendidikan, kepala sekolah sering disebut sebagai nahkoda yang menentukan arah perjalanan sebuah sekolah. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kualitas kepemimpinan kepala sekolah sangat menentukan mutu pendidikan. Berbagai teori kepemimpinan pendidikan menawarkan gambaran ideal tentang sosok kepala sekolah yang visioner, inspiratif, dan mampu membawa perubahan. Namun, realitas di Indonesia menunjukkan adanya jurang yang cukup lebar antara teori dan praktik. Kepala sekolah dihadapkan pada berbagai keterbatasan, mulai dari sumber daya, beban administratif, hingga konteks sosial budaya yang membuat kepemimpinan tidak semudah yang tertulis dalam buku-buku teori.

Salah satu teori dari penelitian yang dilakukan oleh Azis, A. (2023) tentang "Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan". Kepemimpinan transformasional, yaitu kepemimpinan yang menekankan pada kemampuan kepala sekolah untuk menjadi inspirator, membangun visi kolektif, serta mendorong guru dan siswa melakukan inovasi. Kepala sekolah transformasional diharapkan tidak sekadar mengatur administrasi, tetapi juga membangkitkan semangat warga sekolah untuk berprestasi. Selain itu, terdapat pula model kepemimpinan berbasis guru penggerak yang mengharuskan kepala sekolah menjadi agen perubahan, menguasai pedagogi, literasi, hingga kolaborasi. Teori lain, seperti kepemimpinan perilaku dan manajemen berbasis sekolah (MBS), juga memberi kerangka tentang bagaimana kepala sekolah seharusnya berinteraksi, mendelegasikan tugas, mengembangkan budaya mutu, serta mendorong partisipasi semua warga sekolah.

Sayangnya, dalam kenyataan, penerapan teori kepemimpinan itu tidaklah sederhana. Kepala sekolah di Indonesia kerap berhadapan dengan keterbatasan sumber daya manusia dan fasilitas. Di banyak sekolah, terutama di daerah terpencil, jumlah guru masih kurang dan distribusinya tidak merata. Fasilitas belajar seperti laboratorium, perpustakaan, bahkan akses internet pun masih menjadi barang mewah. Dalam kondisi seperti ini, kepala sekolah dituntut untuk berinovasi, padahal instrumen dasarnya saja belum terpenuhi. Studi tentang implementasi program Sekolah Penggerak di beberapa daerah menunjukkan bahwa komitmen kepala sekolah seringkali terhambat oleh minimnya dukungan sumber daya.

Selain itu, kepala sekolah juga dibebani dengan tugas administratif yang menumpuk. Mereka bukan hanya mengurus manajemen sekolah, tetapi juga harus mengisi berbagai laporan, memenuhi regulasi, bahkan terkadang tetap mengajar di kelas. Waktu dan energi yang seharusnya bisa digunakan untuk membimbing guru, merancang inovasi, atau mendampingi siswa justru habis untuk urusan administrasi. Situasi ini membuat banyak kepala sekolah lebih sibuk "memenuhi target laporan" daripada fokus mengembangkan mutu pendidikan.

Tantangan lain datang dari kurangnya pelatihan dan pendampingan. Banyak kepala sekolah mendapatkan pelatihan hanya sekali atau sebatas teori, tanpa ada tindak lanjut berupa mentoring di lapangan. Padahal kepemimpinan adalah keterampilan yang terus berkembang dan perlu diperkuat melalui praktik nyata serta umpan balik berkelanjutan. Survei dari Kementerian Pendidikan beberapa tahun lalu bahkan menunjukkan bahwa efektivitas kepemimpinan kepala sekolah di Indonesia masih berada di bawah standar internasional. Hal ini menandakan perlunya perhatian lebih terhadap pengembangan profesionalisme kepala sekolah.

Kepala sekolah juga tidak bisa dipisahkan dari budaya sekolah dan dinamika sosial masyarakat sekitar. Nilai-nilai lokal, tekanan dari orang tua, pemerintah daerah, hingga sponsor sering kali memengaruhi keputusan yang mereka buat. Misalnya, kepala sekolah yang ingin menerapkan gaya kepemimpinan demokratis kadang terbentur dengan budaya masyarakat yang lebih hierarkis. Hal-hal semacam ini menunjukkan bahwa teori kepemimpinan tidak bisa diterapkan secara kaku tanpa mempertimbangkan konteks lokal.

Lebih jauh lagi, ada kesenjangan antara kebijakan nasional dan implementasi di lapangan. Program-program seperti Kurikulum Merdeka atau Sekolah Penggerak di atas kertas terlihat ideal. Namun, di lapangan, penerapannya tidak seragam. Sekolah dengan dukungan infrastruktur dan guru yang siap bisa cepat beradaptasi, sementara sekolah lain yang kekurangan sarana justru kesulitan. Kepala sekolah sebagai pemimpin berada di tengah dilema ini---dituntut untuk berhasil, tetapi tidak selalu diberikan bekal yang memadai.

Melihat berbagai tantangan tersebut, jelas bahwa jurang antara teori dan realitas kepemimpinan kepala sekolah masih lebar. Ada beberapa faktor penyebabnya, mulai dari desentralisasi pendidikan yang membuat dukungan antar daerah tidak merata, sistem penilaian yang masih lebih menekankan output daripada proses, hingga kurangnya insentif bagi kepala sekolah yang benar-benar berinovasi. Selain itu, pelatihan yang ada seringkali hanya teoritis tanpa menyesuaikan dengan konteks lapangan, sehingga kepala sekolah sulit menerjemahkannya ke dalam praktik nyata.

Meski begitu, bukan berarti kondisi ini tidak bisa diperbaiki. Ada sejumlah solusi dan rekomendasi yang dapat dilakukan untuk memperkuat manajemen kepemimpinan kepala sekolah di Indonesia. Pertama, pengembangan profesional harus dilakukan secara berkelanjutan dan kontekstual. Kepala sekolah membutuhkan pelatihan yang relevan dengan tantangan sehari-hari, disertai mentoring dan coaching yang menyesuaikan dengan kondisi sekolah mereka. Kedua, supervisi dan umpan balik harus diperkuat. Kepala sekolah perlu mendapatkan evaluasi tidak hanya dari pemerintah, tetapi juga dari guru, siswa, dan masyarakat agar tercipta budaya akuntabilitas yang sehat.

Ketiga, perlu ada dorongan pada kepemimpinan kolaboratif. Kepala sekolah tidak harus menjadi pusat dari semua keputusan. Dengan mendelegasikan wewenang, membentuk tim kepemimpinan sekolah, dan memberdayakan guru sebagai pemimpin pembelajaran, beban kerja kepala sekolah dapat lebih terbagi dan kapasitas kolektif sekolah pun meningkat. Keempat, pemerintah harus memastikan distribusi sumber daya yang lebih adil. Sekolah-sekolah di daerah terpencil harus mendapat perhatian khusus agar bisa setara dengan sekolah di perkotaan.

Selain itu, sistem pendidikan juga perlu memberikan insentif dan penghargaan bagi kepala sekolah yang berhasil menghadirkan perubahan nyata. Tidak hanya berupa tunjangan, tetapi juga pengakuan publik dan kesempatan mengikuti pelatihan internasional. Terakhir, kebijakan nasional harus lebih sensitif terhadap konteks lokal. Kepala sekolah sebaiknya diberi ruang otonomi untuk menyesuaikan kebijakan dengan kondisi masyarakat sekitar tanpa kehilangan arah visi pendidikan nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun